Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini Awal Prasetyo: Menyoal Pelayanan Darah di UU No 17/2023

Awal Prasetyo

Menyoal Pelayanan Darah di UU No 17/2023

(Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro)


Beberapa waktu lalu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disahkan oleh Presiden dan DPR. UU ini juga mengatur tentang pelayanan darah di dalamnya, yaitu pada Pasal 114 sampai dengan Pasal 122.

Ada pasal-pasal krusial yang harus dibahas karena berpotensi menimbulkan isu-isu negatif di masyarakat.


Pengelolaan darah

Pertama adalah Pasal 116 yang menjelaskan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan boleh melakukan pengelolaan darah, yakni berupa pelayanan perencanaan pengelolaan darah, pengerahan dan pelestarian donor darah, penyeleksian donor darah, pengambilan darah, pengujian darah, pengolahan darah (pemisahan sel darah dan plasma), penyimpanan darah, dan pendistribusian darah.

Dengan diperbolehkannya fasilitas pelayanan kesehatan mengelola darah, hal ini membuka pintu bagi organisasi kesehatan milik swasta untuk mengelola darah, yang tadinya sebelum undang-undang ini disahkan hanya boleh dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan PMI melalui unit transfusi darah milik tiga organisasi itu.

Dengan diperbolehkannya fasilitas pelayanan kesehatan mengelola darah, hal ini juga membuka potensi kekisruhan dalam urusan pengelolaan darah. Dalam satu kota saja akan ada belasan atau puluhan instansi, baik pemerintah maupun swasta, yang diperbolehkan mengelola darah.

Data Dirjen Kesehatan Kementerian Kesehatan RI tahun 2021 menunjukkan, sebanyak 421 kabupaten/kota di Indonesia sudah memiliki unit transfusi darah (UTD). Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat ada 2.561 rumah sakit umum di Indonesia pada tahun 2022 yang semuanya berpeluang menyelenggarakan layanan darah.

Pemerintah pusat dan daerah yang bertanggung jawab untuk memastikan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai kebutuhan masyarakat (Pasal 118), dan memastikan tak ada jual beli darah (Pasal 119), akan kesulitan melaksanakan tugasnya karena banyaknya instansi yang harus diawasi.

Dari sisi kacamata masyarakat yang terlibat dengan keperluan layanan darah, ketika hanya ada tiga instansi yang berwenang dalam urusan pengelolaan darah sebelum diberlakukannya UU No 17/2023—yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan PMI—masyarakat sudah banyak yang kebingungan dalam urusan ke mana mereka harus mendonorkan darahnya dan dalam urusan mendapatkan darah untuk keluarganya yang butuh transfusi darah.

Dengan bertambahnya secara signifikan jumlah instansi yang berwenang memberikan pelayanan darah, masyarakat akan tambah bingung ke mana harus mendapatkan pelayanan darah ketika mereka perlu.


Bank plasma

Pasal krusial dalam UU No 17/ 2023 yang harus dibahas karena berpotensi menimbulkan isu negatif di masyarakat yang kedua adalah tentang bank plasma. Plasma darah adalah cairan (92 persen air) berwarna kekuningan yang bertugas membawa sel-sel darah, nutrisi, hormon, dan protein.

Pada UU No 17/2023, fasilitas pelayanan kesehatan, baik milik publik maupun swasta, berhak memiliki dan mengoperasikan bank plasma (Pasal 120 Ayat 8). Bank plasma berfungsi untuk mengumpulkan plasma dari donor untuk kepentingan membuat obat (Pasal 120 Ayat 2). Para donor plasma ini boleh diberikan kompensasi seperti biaya penggantian transportasi atau biaya pemeliharaan kesehatan (Pasal 120 Ayat 3).

Selain itu, di dalam UU ini tidak ada larangan untuk memperjualbelikan plasma darah. Maka, dengan banyaknya instansi yang boleh terlibat dalam pengoperasian bank plasma dan tak adanya larangan jual beli plasma, kemungkinan besar akan terjadi komersialisasi dalam urusan bank plasma.

Dampak terjadinya komersialisasi dalam hal bank plasma adalah ketergantungan komersial para donor plasma yang sering dicap miskin sehingga mereka mengandalkan donasi plasma sebagai sumber pendapatan. Insentif finansial sebagai aspek komersial yang ditawarkan akan menyebabkan mereka yang membutuhkan uang mengambil terlalu banyak risiko.

Para donor plasma mempergunakan insentifnya tidak untuk kompensasi nutrisi yang memadai sehingga bisa sangat membahayakan status kesehatannya dan kualitas plasmanya.

Kedua, komersialisasi juga mendorong operasi yang tidak standar untuk mengumpulkan plasma dalam jumlah besar dari donor dalam konteks yang miskin, mengabaikan sterilisasi, tidak memiliki metode deteksi virus yang akurat, berbagi mesin sentrifus yang tidak tepat atau menggunakan jarum yang tidak sekali pakai buang, sehingga meningkatkan risiko penyakit menular melalui kontaminasi silang.

Dalam jangka panjang, malnutrisi dan penyakit menular dapat mengakumulasi dampak yang merusak modal manusia donor plasma yang miskin dan merusak upaya pemerintah mengatasi kemiskinan.


Solusi

Dengan akan terlibatnya banyak fasilitas kesehatan dalam urusan pengelolaan darah dan bank plasma, pemerintah harus memiliki peraturan turunan dari UU No 17/Tahun 2023, misalnya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur pengelolaan darah dan bank plasma. Termasuk di dalam PP itu adalah persyaratan fasilitas kesehatan seperti apa yang boleh memiliki kewenangan pengelolaan darah dan bank plasma.

PP yang mengatur pengelolaan darah dan bank plasma haruslah memuat sanksi yang tegas dan detail untuk fasilitas pelayanan kesehatan yang terbukti melakukan jual beli darah, tidak menyediakan darah yang aman, dan menghalangi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan darah. PP tentang pengelolaan darah dan bank plasma harus segera terbentuk untuk menghindari kekisruhan dalam pelayanan darah.

Posting Komentar untuk "Opini Awal Prasetyo: Menyoal Pelayanan Darah di UU No 17/2023 "