Penyelesaian utang-piutang yang mandek kerap menjadi sumber konflik antara kreditur dan debitur. Tidak sedikit yang menempuh jalur non-hukum seperti menggunakan jasa debt collector untuk menagih kewajiban. Namun, langkah itu dinilai rentan melanggar hukum dan justru bisa menjadi bumerang. Hal tersebut ditegaskan oleh Advokat Senior Alfred Djunaidhi, S.H., M.H., yang menyatakan bahwa somasi merupakan solusi hukum yang paling tepat dan beradab dalam menghadapi utang yang tak kunjung dilunasi.
“Banyak orang salah kaprah. Mereka merasa, ketika piutang tak dibayar, cara tercepat adalah langsung menekan dengan kekerasan atau debt collector. Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, Jasa somasi adalah langkah awal yang sangat strategis dan sah secara hukum,” kata Alfred saat diwawancarai di kantornya di bilangan Jakarta Selatan, Jumat (25/4).
Menurut Alfred, somasi bukan hanya bentuk peringatan, tetapi juga merupakan tahapan krusial dalam proses penegakan hak secara hukum. “Dengan somasi, kita menyampaikan bahwa ada wanprestasi (ingkar janji), dan memberi kesempatan kepada debitur untuk menyelesaikan kewajibannya tanpa harus langsung ke meja hijau,” tegasnya.
Pentingnya Somasi dalam Sengketa Utang
Dalam hukum perdata Indonesia, utang-piutang adalah bentuk perikatan yang memiliki kekuatan hukum. Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi atau pemenuhan prestasi melalui mekanisme hukum. Alfred menjelaskan bahwa Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan bahwa debitur dianggap lalai setelah diberi peringatan secara resmi (somasi), kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu di mana somasi tidak diperlukan.
“Somasi itu bukan hanya formalitas, tapi bukti bahwa kita sudah memberi ruang penyelesaian secara damai,” kata Alfred.
Lebih jauh, Alfred menguraikan bahwa somasi biasanya dikirim dalam bentuk surat resmi yang menyebutkan secara jelas identitas para pihak, nilai utang, bukti perjanjian, serta batas waktu penyelesaian. Somasi juga harus disertai dengan ancaman tindakan hukum apabila dalam jangka waktu yang ditentukan debitur tetap tidak membayar.
“Ini bukan ancaman dalam arti intimidasi, tapi bentuk penegakan hak sesuai mekanisme yang diatur hukum. Surat somasi yang baik akan menjadi alat bukti kuat ketika gugatan benar-benar diajukan ke pengadilan,” paparnya.
Risiko Gunakan Debt Collector
Maraknya praktik penagihan utang oleh pihak ketiga atau debt collector menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Tak sedikit masyarakat yang menjadi korban intimidasi bahkan kekerasan dari oknum penagih utang.
Alfred menegaskan bahwa penggunaan debt collector yang tidak terdaftar secara resmi dan tidak memahami hukum bisa menjerumuskan kreditur dalam permasalahan baru.
“Kalau kita asal tunjuk orang untuk menagih, dan mereka pakai kekerasan atau intimidasi, itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Kita sebagai kreditur bisa ikut terseret sebagai pemberi kuasa atau penyuruh,” ungkapnya.
Menurutnya, praktik semacam ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak nama baik pelaku usaha atau individu. Oleh karena itu, ia sangat menyarankan agar penyelesaian utang dilakukan dengan pendekatan hukum yang benar, yakni melalui somasi yang dikelola oleh advokat atau penasihat hukum profesional atau jasa pebuatan somasi.
“Daripada repot berurusan dengan laporan polisi karena debt collector, lebih baik bayar jasa hukum yang jelas prosedurnya,” tambah Alfred.
Langkah-Langkah Penyelesaian Utang dengan Jalur Somasi
Dalam wawancaranya, Alfred Djunaidhi membeberkan langkah sistematis penyelesaian utang melalui somasi yang menurutnya sebaiknya menjadi prosedur standar setiap sengketa piutang:
- Identifikasi Utang dan Bukti Awal
- Penyusunan Surat Somasi
- Pengiriman Somasi
- Tindak Lanjut
Somasi Menyelamatkan Reputasi dan Waktu
Alfred mengangkat satu contoh nyata dari praktiknya: “Kami pernah menangani kasus pengusaha yang punya piutang Rp2 miliar. Ia sudah hampir sewa debt collector. Tapi setelah kami bantu buat somasi, dalam dua minggu debitur membayar 60% dari utang, dan sisanya dicicil dalam tiga bulan.”
Menurut Alfred, dalam banyak kasus, debitur bukan tidak mampu, tetapi perlu ‘sentilan’ formal. “Surat somasi dari kantor hukum memberikan tekanan psikologis yang tepat. Debitur merasa dituntut secara legal dan lebih berhati-hati,” katanya.
Somasi untuk Personal atau UMKM
Tidak hanya untuk perusahaan besar, Alfred menegaskan bahwa individu dan pelaku UMKM juga sangat mungkin menggunakan jalur somasi untuk menyelesaikan piutang. Menurutnya, banyak masyarakat kecil yang enggan menagih karena takut konflik, padahal mereka punya hak hukum.
“Seorang pemilik toko kelontong yang memberi utang ke pelanggan tetap pun bisa menyewa pengacara untuk kirim somasi. Tak harus mahal, tergantung kompleksitasnya,” ujarnya.
Mengapa Edukasi Hukum Itu Penting
Alfred juga menyoroti pentingnya edukasi hukum kepada masyarakat, terutama mengenai hak dan kewajiban dalam perikatan. “Selama ini yang kuat adalah yang berani marah. Padahal yang sah adalah yang punya dasar hukum,” katanya.
Ia menilai banyak masyarakat yang masih melihat hukum sebagai sesuatu yang ‘rumit’ dan ‘elitis’. Untuk itu, menurutnya, para advokat dan akademisi harus turut aktif menyampaikan pemahaman hukum secara sederhana.