Opini Irfa Ampri: Manfaat dan Risiko Indonesia Bergabung di BRICS
Manfaat dan Risiko Indonesia Bergabung di BRICS
Bekerja di Kementerian Keuangan
Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15 BRICS yang juga dihadiri Presiden RI Joko Widodo telah berlangsung pada pekan keempat Agustus lalu di Johannesburg, Afrika Selatan. Kemungkinan Indonesia bergabung dalam kelompok tersebut kembali menjadi salah satu perdebatan ramai di publik.
Organisasi BRICS, yang didirikan pada tahun 2009 oleh empat negara pendiri —Brasil, Rusia, India, dan China; dengan Afrika Selatan bergabung pada tahun 2010— berkembang cepat menjadi salah satu blok utama dalam percaturan politik, militer, dan ekonomi global.
Pada KTT ini, BRICS berencana memperluas keanggotaan dengan potensi 40 negara, termasuk tiga negara anggota G20—yakni Indonesia, Arab Saudi, dan Argentina—menjadi anggota baru organisasi eksklusif ini. Presiden Jokowi hadir pada KTT BRICS sebagai salah satu agenda dari kunjungan bilateral Presiden ke beberapa negara di Afrika.
Pertanyaan yang timbul adalah seberapa besar manfaat dan risiko yang timbul dengan bergabung ke BRICS bagi kepentingan Indonesia yang memiliki diplomasi bebas aktif dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Perkembangan BRICS
Pertumbuhan ekonomi BRICS yang pesat pada dekade pertama abad ke-21 menjadi bahasan utama para ekonom dan investor global mengingat kontribusi signifikan BRICS bagi perekonomian global.
Kontribusi tersebut diyakini akan berlangsung berkelanjutan di masa depan karena berbagai faktor unggulan yang dimiliki BRICS dari sisi besarnya pasar yang merepresentasikan lebih dari 40 persen jumlah penduduk dunia, lebih 25 persen pendapatan domestik bruto (PDB) dunia, sekitar 20 persen perdagangan global. Selain itu, jumlah tenaga kerja produktif dan terdidik yang berada pada masa emas, kemampuan teknologi, dan sumber daya alam melimpah.
Untuk mempercepat kesetaraan pembangunan dan mitigasi krisis ekonomi di negara-negara anggota, BRICS berkomitmen terhadap penyediaan pendanaan 200 miliar dollar AS pada 2015 yang dialokasikan dengan jumlah yang sama untuk modal Bank Pembangunan Baru (New Development Bank/NDB) dan pembentukan dana darurat (BRICS Contingent Reserve Arrangement/CRA).
Hingga tahun 2023, realisasi modal yang disetor oleh BRICS pada NDC mencapai 10 miliar dollar AS dengan kontribusi yang sama (2 miliar dollar AS) oleh setiap anggota.
Sementara, atas CRA, operasionalnya mirip dengan Chiang Mai Initiative (CMI), kerja sama ASEAN dengan tiga negara mitra utama (China, Jepang, dan Korea Selatan), dengan komitmen pendanaan 240 miliar dollar AS dengan pengumpulan pendanaan (currency swap) oleh setiap negara anggota baru akan dilakukan jika ada negara anggota yang mengalami krisis ekonomi.
Berbeda dengan CMI, bantuan currency swap pada CRA murni berasal dari anggota BRICS dan tidak ada skema bantuan IMF (IMF delink portion) yang mencapai 30 persen dari dana yang dibutuhkan oleh negara anggota CMI.
Sementara dari sisi investasi (FDI) yang masuk di antara negara-negara BRICS, jumlahnya meningkat tajam dari kurang 30 miliar dollar AS pada awal pendirian menjadi lebih 150 miliar dollar AS pada tahun 2020 dengan lebih dari 90 persen investasi berasal dari China.
Namun, FDI di antara negara-negara BRICS hanya sekitar 5 persen dari total FDI mancanegara yang masuk ke BRICS. Penggunaan mata uang lokal yang dimiliki negara anggota BRICS semakin meningkat khususnya setelah perang Rusia dengan Ukraina yang utamanya digunakan untuk membeli komoditas dari Rusia.
Namun, jumlah transaksi dengan mata uang lokal masih sangat minim dibandingkan transaksi dengan menggunakan dollar AS. Nilai perdagangan di antara anggota BRICS semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan semakin meluasnya wilayah atau negara yang dilalui oleh Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) yang dirintis oleh China.
Peranan militer dan politik BRICS terlihat menonjol pada tahun-tahun belakangan ini dan pada beberapa isu mengambil posisi berlawanan dengan kepentingan dan hegemoni negara-negara Barat atau maju.
Dominasi dan klaim China pada wilayah Laut China Selatan semakin kuat dan terkesan tanpa kompromi dengan negara-negara tetangga, termasuk Indonesia, yang memiliki klaim yang sama.
BRICS menunjukkan sikap tak mendukung klaim AS dan sekutunya atas invasi Rusia ke Ukraina dan ajakan embargo atas produk-produk Rusia seperti komoditas minyak bumi dan gandum.
Posisi Indonesia
Bergabungnya Indonesia dengan BRICS diperkirakan akan memberikan banyak manfaat bagi Indonesia. Manfaat itu berasal dari hasil kerja sama eksklusif di antara anggota BRICS di bidang ekonomi, perdagangan, stabilitas mata uang, opsi pembiayaan pembangunan dari pinjaman bilateral dan multilateral (NDB), dan pertahanan keamanan.
Dari sisi ekonomi dan perdagangan, misalnya, setidaknya ada tiga potensi manfaat yang diperoleh Indonesia yang berkorelasi positif dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni pertama, meningkatnya transaksi ekonomi (ekspor dan impor) dari pasar yang ada dan baru. Kedua, meningkatnya FDI ke Indonesia yang membuka lapangan kerja bagi penduduk Indonesia. Ketiga, meningkatnya sumber pembiayaan bagi sektor publik dan swasta.
Dari sisi stabilitas mata uang, rupiah Indonesia juga akan lebih stabil dari risiko fluktuasi mata uang (aksi spekulasi dan ketergantungan pada mata uang tertentu) terlebih dengan pemberlakuan mata uang lokal yang diterima oleh negara-negara anggota BRICS.
Kerja sama keamanan BRICS akan menghormati teritorial setiap negara anggota dan mengurangi risiko intervensi negara-negara anggota BRICS atas keutuhan wilayah NKRI.
Namun, beberapa risiko dan konsekuensi utama perlu menjadi pertimbangan Indonesia. Ada tiga risiko utama yang perlu diperhatikan yang berkaitan dengan kewajiban anggota baru, hak eksklusif negara pendiri, dan kebijakan BRICS yang bertentangan dengan kebijakan Indonesia.
Risiko pertama adalah pemenuhan beragam kewajiban oleh Indonesia sebagai anggota BRICS. Pemenuhan kewajiban tersebut dapat berbentuk kewajiban keuangan dan non-keuangan.
Kewajiban keuangan di antaranya kontribusi pada modal NDB dan CRA. Sementara kewajiban non-keuangan cukup beragam, mulai dari ratifikasi perjanjian dengan parlemen hingga liberalisasi perdagangan dan investasi yang lebih agresif dibandingkan perjanjian liberalisasi yang sudah ada.
Risiko penolakan liberalisasi dan isu dominasi China dalam kerja sama BRICS cukup sensitif bagi sebagian kalangan di dalam negeri sehingga perlu menjadi prioritas untuk diselesaikan.
Risiko kedua adalah adanya kondisi tidak semua hak eksklusif negara pendiri akan dinikmati oleh negara anggota yang baru. Hak eksklusif negara pendiri biasanya terjadi pada aspek pengambilan keputusan seperti hak khusus pada perubahan anggaran dasar dan rumah tangga dari instrumen kelembagaan yang dimiliki BRICS seperti NDC.
Hak khusus seperti ini lazim ada seperti juga terdapat pada organisasi internasional lainnya, seperti Bank Dunia dan IMF. Hal ini perlu menjadi perhatian utama jika hak eksklusif ini ada pada komunike resmi BRICS.
Risiko ketiga sebagian juga terkait dengan risiko kedua, yaitu adanya risiko sikap berseberangan yang diambil oleh BRICS yang mungkin berseberangan dengan politik luar negeri Indonesia.
Kebijakan BRICS diperkirakan tidak terlepas dari kepentingan negara-negara pendiri BRICS dan hal tersebut terlihat dari sikap BRICS menyikapi perang Rusia dan Ukraina.
Di samping itu, negara-negara berkembang yang ada di Pasifik dan Afrika dan bergantung pada negara-negara pendiri BRICS berpeluang besar menjadi anggota baru BRICS. Negara-negara tersebut dapat saja memiliki kepentingan berbeda dengan kebijakan Indonesia dan menggunakan forum BRICS untuk menyuarakan kepentingannya.
Optimalisasi manfaat
Adanya undangan untuk bergabung ke BRICS perlu disikapi dengan positif dan sekaligus antisipatif karena adanya potensi beragam manfaat yang diperoleh dan berbagai risiko dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh Indonesia.
Optimalisasi manfaat dan mitigasi risiko seharusnya menjadi tujuan Indonesia untuk bergabung. Tercapainya tujuan tersebut memerlukan kerja keras dan kreativitas Indonesia baik di sektor publik (pemerintah) maupun swasta melalui keterlibatan aktif para diplomat dan birokrat dalam tata kelola.
Selain itu, juga melalui penegakan hukum, dan konten kerja sama BRICS yang merefleksikan kepentingan Indonesia dan para pelaku usaha yang mampu bersikap profesional, memiliki daya saing, dan menciptakan nilai tambah untuk berkompetisi dengan pebisnis dari negara anggota BRICS lainnya.
Posting Komentar untuk "Opini Irfa Ampri: Manfaat dan Risiko Indonesia Bergabung di BRICS"