Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini Siti Murtiningsih: Manusia dan Perubahan Iklim

Opini Siti Murtiningsih Manusia dan Perubahan Iklim


Manusia dan Perubahan Iklim

Siti Murtiningsih
Dekan Fakultas Filsafat UGM


”Umat manusia sedang berada di kursi panas,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dalam konferensi persnya pada 27 Juli 2023 setelah para ilmuwan mengonfirmasi bahwa bulan Juli lalu adalah bulan terpanas sepanjang masa.

Berdasarkan data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan program observasi Bumi Kopernikus Uni Eropa, rata-rata suhu permukaan bumi pada tiga minggu pertama bulan Juli 2023 adalah 16,95 derajat celsius. Ini berarti suhu bumi berada di 1,5 derajat celsius di atas rata-rata suhu global sejak era praindustri akhir tahun 1700 atau awal 1800 (Kompas, 31/7/2023).

Oleh karena itu, Sekjen PBB dalam konferensi persnya menyatakan bahwa era pemanasan global sudah berakhir. Kini kita memasuki era pendidihan global (global boiling). Semua ini memang sudah lama diprediksi para ilmuwan. Namun, bahwa terjadi sekarang, hal itu mengagetkan.


Kepentingan manusia

Perubahan iklim, sebagaimana perubahan musim, adalah satu dari sekian banyak peristiwa alam. Namun, bedanya, perubahan iklim lebih banyak disebabkan berbagai macam aktivitas manusia, mulai dari penggunaan bahan bakar fosil, penggundulan hutan, hingga peternakan (livestock farming).

Manusia memiliki kepentingan untuk memenuhi hasratnya, tetapi pada saat yang sama malah menyebabkan hal yang tidak diinginkan. Perubahan iklim ekstrem yang disebabkan oleh pemenuhan hasrat manusia itu malah menjadi ancaman bagi hidupnya. Masalah kesehatan, kelangkaan air dan pangan, hingga bencana alam adalah sederet kemungkinan yang terus mengancam umat manusia di masa depan.

Sederhananya, perubahan iklim yang ekstrem ini disebabkan oleh kepentingan manusia dan juga mengancam kepentingan manusia. Sirkularitas ini mungkin absurd, tetapi begitulah kenyataannya. Dalam banyak hal, manusia memang sering melakukan sesuatu yang malah menjadi bumerang bagi dirinya.

Namun, keabsurdan ini sebenarnya muncul karena pembahasan tentang perubahan iklim selalu diselimuti dengan wacana antroposentrisme dan humanisme universal. Wacana yang antroposentris ini membuat seolah perubahan iklim itu hanya soal manusia saja.

Hutan mangrove yang mengelilingi areal tambak di Desa Pantai Harapan Jaya, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (1/8/2023). Kemampuan mangrove dalam menyerap karbon merupakan jasa ekosistem yang penting pada kondisi perubahan iklim secara global.

Manusia yang menyebabkan suhu bumi naik dan demi keberlangsungan hidup manusia pula, masalah ini perlu segera diatasi. Seolah dalam perubahan iklim yang ekstrem itu tidak ada hidup hewan yang juga terdampak, kontur bumi yang berubah, serta pepohonan yang meranggas kekurangan air. Sebab, ukuran segala hal dalam antroposentrisme adalah manusia. Maka, seandainya perubahan iklim ini tidak memiliki dampak pada keberlangsungan hidup manusia barangkali tak akan ada orang yang menganggap ini suatu masalah.

Itu satu masalah pertama saat kita membicarakan perubahan iklim. Masalah kedua adalah humanisme universal. Perubahan iklim yang kini menjadi pendidihan global itu sering disebut karena ulah manusia dan akan mengancam hidup manusia. Namun, manusia yang mana?

Wacana humanisme universal mengaburkannya. Seolah semua manusia yang menyebabkan perubahan iklim dan semua manusia pula yang akan terdampak efek negatifnya. Padahal, tidak semua manusia menggunakan bahan bakar fosil, juga tidak semua manusia melakukan penggundulan hutan. Orang-orang yang tinggal di pedalaman, yang daerahnya bahkan belum terjangkau listrik, tidak pernah menikmati manfaat penggunaan bahan bakar fosil. Pihak yang melakukan penggundulan hutan biasanya bukan individu, melainkan korporasi dengan modal besar.

Tidak semua manusia juga akan terkena dampak serius perubahan iklim. Yang paling terdampak tentu orang-orang yang masih menggantungkan hidupnya pada alam, mulai dari petani, nelayan, pekerja lapangan, hingga penghuni kawasan kutub dan pesisir.

Para elite ekonomi dan sebagian besar masyarakat kelas menengah ke atas tidak akan merasakan dampak perubahan iklim ini seberat kelas menengah ke bawah.

Dalam kerangka pembedaan itu, Tajuk Rencana Kompas yang berjudul ”Memanusiakan Perubahan Iklim” (31/7/2023) seharusnya dipahami. Ia bukan ajakan untuk meneguhkan antroposentrisme dalam diskursus perubahan iklim, melainkan ajakan untuk membuang asumsi humanisme universal, bahwa semua manusia sama terdampaknya oleh perubahan iklim.


Pengaburan tanggung jawab

Hal paling problematik dari humanisme universal yang menyelimuti diskursus perubahan iklim adalah pengaburan tanggung jawab. Pengaburan tanggung jawab ini juga terlihat dalam konferensi pers Sekjen PBB. Saat menjelaskan peningkatan suhu Bumi pada akhir bulan Juli lalu itu, Guterres tegas menyatakan, ”Bagi para ilmuwan, ini sudah jelas, manusia perlu disalahkan.”

Karena ”manusia” dalam pidato itu dikaburkan, tidak jelas manusia yang mana, maka seolah semua manusia mesti bertanggung jawab untuk mengatasi perubahan iklim ini. Padahal, tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang-orang dari kelas menengah ke bawah untuk mengatasi perubahan iklim. Selain menjadi orang yang paling terdampak, orang-orang dari kalangan menengah ke bawah ini juga tidak memiliki banyak pilihan hidup.

Polusi udara menyelimuti gedung bertingkat di Jakarta, Senin (5/6/2023). Pemicu tingginya konsentrasi PM 2,5 atau polutan yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer di Jakarta dan sekitarnya antara lain disebabkan emisi kendaraan bermotor, industri dan pergerakan polutan udara oleh angin.

Jika seluruh umat manusia mesti bertanggung jawab atas perubahan iklim ini, fakta tragis menyelimuti kelompok sosial menengah ke bawah. Sudah terdampak oleh masalah yang disebabkan oleh orang lain, masih saja mereka diminta bertanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut.

Jangankan dibebani tanggung jawab untuk mengatasi perubahan iklim, untuk bertahan hidup saja mereka susah payah. Karena itu, kita tidak bisa memukul rata bahwa semua manusia bertanggung jawab untuk perubahan iklim yang telah memasuki fase pendidihan global ini.

Manusia yang bertanggung jawab atas perubahan iklim ini adalah manusia spesifik, bukan manusia keseluruhan. Demikian juga manusia yang paling terdampak oleh perubahan iklim ini manusia spesifik, bukan manusia secara universal.

Dengan demikian, saatnya membuang narasi humanisme universal dalam diskursus tentang perubahan iklim. Pengalaman dan kondisi manusia itu tidak pernah universal, tetapi selalu konkret dan spesifik.

Mengabaikan fakta ketidakuniversalan ini sama saja dengan mengaburkan orang yang seharusnya dimintai pertanggungjawabannya.

Posting Komentar untuk "Opini Siti Murtiningsih: Manusia dan Perubahan Iklim"