Opini Eko Mardiono: Status Perkawinan Beda Agama dan Anaknya
Status Perkawinan Beda Agama dan Anaknya
Penghulu Ahli Madya Kantor Urusan Agama Prambanan Kabupaten Sleman DIY
Perdebatan mengenai pencatatan kawin beda agama sudah selesai. Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Pengadilan diperintahkan untuk menolak permohonan pencatatan kawin beda agama guna memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum sebab sebelumnya terjadi disparitas. Ada pengadilan yang menolak, ada yang menerima.
Terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini memunculkan pertanyaan krusial, bagaimana status anak yang lahir dari perkawinan beda agama dan perkawinannya yang telah dicatatkan pada instansi pemerintah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dindukcapil)? Persoalan ini pun mendapat perhatian Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin.
KH Ma'ruf Amin meminta MA untuk membuat aturan soal status anak hasil pernikahan beda agama, apakah anak sah ataukah tidak. MA juga diminta untuk menetapkan status perkawinan beda agama yang sudah telanjur dicatatkan pada Dindukcapil.
"Tentang nasib anak-anaknya nanti saya minta kepada pihak MA untuk menetapkan statusnya secara hukum kenegaraan. Itu nanti seperti apa. Sama minta MA yang menetapkan yang sudah telanjur ditetapkan nanti. Apakah dibatalkan, apakah itu diberi semacam pengakuan nanti segi hukumnya," ujar KH Ma'ruf Amin (detikcom, 24/7).
Perihal ini ada dua pertanyaan penting. Pertama, bagaimana status anak hasil perkawinan beda agama? Kedua, bagaimana keabsahan perkawinan beda agama itu?
Keabsahan Perkawinan
KH Ma'ruf Amin menyampaikan, "Dari segi sah atau tidaknya itu ada pada masing-masing agama. Mungkin dari agama Islam ada Majelis Ulama, nanti agama Kristen ada KWI, PGI, dan juga agama-agama lain." (detikcom, 24/7).
Saya mempunyai hipotesis, perkawinan beda agama sesungguhnya telah dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan kepercayaannya. Kebenaran hipotesis ini terlihat dengan adanya Surat Keterangan Perkawinan pemuka agama, bahwa telah terjadi perkawinan sepasang suami-istri menurut hukum agama dan kepercayaannya.
Surat Keterangan Perkawinan pemuka agama ini pun juga dijadikan syarat formal laporan perkawinan di Dindukcapil (Pasal 37 ayat 1.a Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2018 tentang Tata Cara dan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil). Juga dijadikan syarat saat mengajukan permohonan sidang kawin beda agama di Pengadilan (Yurisprudensi Nomor 1400K/PDT/1986).
Kalaupun ada orang yang menganggap perkawinan itu perkawinan beda agama, hal itu karena mereka hanya melihat latar belakang agama calon suami-istri yang berbeda, padahal sebenarnya salah satu pasangan telah berpindah agama saat melakukan perkawinan, yaitu dengan menundukkan diri ke agama pasangannya (Surat MA Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019 Tanggal 30 Januari 2019). Menundukkan diri di sini berarti berpindah agama.
Oleh karena itu, apabila akan dipastikan status perkawinan beda agama, maka dapat ditetapkan bahwa "perkawinan beda agama" adalah sah. Hanya saja tidak ada kesesuaian antara agama dalam KTP dengan kenyataan yang bersangkutan telah beralih agama saat perkawinan.
Sebenarnya ia telah berpindah agama saat menjalani ritual perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan tertentu. Namun, ia tidak kemudian mengganti agama dalam KTP dan administrasi kependudukannya. Apabila ia telah mengganti agama dalam KTP-nya, maka selesailah persoalan "perkawinan beda agama". Perkawinannya pun menjadi seagama seperti yang selama ini terjadi di Kantor Urusan Agama yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.
Adapun jika pasangan yang bersangkutan tetap tidak mengganti agama dalam KTP, perkawinannya pun tetap sah, tetapi dapat dibatalkan. Perkawinannya dihukumi sah karena dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan tertentu. Dapat dibatalkan karena ada persyaratan administratif yang tidak dipenuhi, yaitu tidak mengganti agama dalam KTP.
Status Anak
Permasalahan kedua dari perkawinan beda agama adalah status anak yang dilahirkan. Menurut hemat saya, status anak tersebut adalah anak sah. Pendapat ini didasarkan pada beberapa argumen.
Pertama, anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan tertentu sebagaimana Surat Keterangan Perkawinan pemuka agama. Apabila dipersoalkan keabsahan perkawinan dari aspek agama, maka hal itu sudah terjawab dengan adanya Surat Keterangan pemuka agama. Seorang pemuka agama tentunya akan melaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan dan hukum agamanya.
Kedua, apabila dipersoalkan KTP yang tidak diganti dengan agama yang digunakan saat perkawinan kemudian perkawinannya dibatalkan, maka anak yang bersangkutan pun akan tetap berstatus anak sah. Hal itu karena suatu perkawinan yang dibatalkan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan (Pasal 28 ayat 2 (a) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).
Oleh karena itu, solusi yang tepat bagi perkawinan beda agama yang sudah dicatatkan di Dindukcapil adalah bukan pembatalan perkawinan atau pengukuhan, tetapi mengganti agama dalam KTP dan dokumen administrasi kependudukan ke agama yang digunakan saat pelaksanaan perkawinan.
Apabila pasangan perkawinan ini sudah mengganti agama dalam KTP, maka permasalahan perkawinan beda agama sudah selesai. Kalaupun seandainya setelah ganti agama dalam KTP tetapi di kemudian hari kembali ke agama semula, maka hal itu tidak berpengaruh kepada sahnya perkawinan dan anak-anaknya. Undang-undang Perkawinan tidak menjadikan peralihan agama sebagai hal yang membatalkan perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia pun juga tidak menjadikan peralihan agama sebagai sebab batalnya perkawinan. KHI justru memasukkan peralihan agama sebagai alasan perceraian. Itu saja dengan syarat peralihan agama yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 (h)).
Dengan demikian, status yang tepat bagi anak yang lahir dalam perkawinan beda agama yang sudah dicatatkan di Dindukcapil adalah anak sah. Keabsahan anak ini memenuhi unsur berbagai aspeknya. Sedangkan status keabsahan perkawinan beda agama juga sah. Yang perlu diluruskan adalah agama dalam KTP pasangan yang masih tertulis agama semula. Agama sebelumnya dalam KTP semestinya diganti dengan agama yang digunakan saat melangsungkan perkawinan.
Posting Komentar untuk "Opini Eko Mardiono: Status Perkawinan Beda Agama dan Anaknya"