Setelah pelariannya selama hampir satu dekade, Alexander Agustinus Rottie, pendeta berusia 52 tahun, akhirnya berhasil ditangkap dalam operasi gabungan Kejaksan Agung, Kejati Sulawesi Utara, dan Kejari Samarinda. Pengkapan berlangsung di sebuah warung Coto Maros di Jalan 14 Februari, Manado pasa Selasa siang, 10 Juni 2025.
Latar Belakang Kasus
Kasus Alexander bermula pada Februari 2016, saat di tuduh melakukan tindakan pencabulan anak di bawah umur di Samarinda. Pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Samarinda, vonisnjya dinyatakan bebas karena kurangnya bukti. Namun, jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Pada 1 Februari 2018, Mahkamah Agung mengubah keputusan tersebut melalui putusan Kasasi No. 2121 K/PID.SUS/2017. Alexander dinyatakan bersalah dihukum penjara selama lima tahun, dan denda sebesar Rp 60 juta dengan opsi pengganti satu bulan kurungan jika denda tidak dibayar.
Masa Pelarian
Begitu hendak dieksekusi pada pertengahan 2018, Alexander menghilang dari pantauan hukum dan dumasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2017-2018. Selama pelarian ia berpindah wilayah mulai dari Berau, Manokwari, Surabaya, hingga Minahasa Utara, bahkan menggunakan KTP palsu untuk menghindari deteksi.
Selama pelarian itu, ia menjalankan profesinya sebagai pendeta, bahkan saat ditangkap pun masih menggunakan identitas pengkhotbah.
Strategi Pengkapan dan Koordinasi
Pengkapan berjalan lancar, Alexander ditangkap saat sedang santap siang tanpa melakukan perlawanan. Kepala Kejari Samarinda, Firmansyah Subhan, menyatakan bahwa penangkapan ini merupakan buah kerja intelijen intensif oleh Satgas Intelijen Refoprmasi dan Inopvasi (SIRI) serta kolaborasi lintas daerah.
Lokasi pengnakapan tepatnya di Rumah Makan Coto Maros Teling, kecamatan Wanea, sekitar pukul 12.05 WITA.
Proses Hukum Selanjutnya
Setelah penangkapan, Alexander langsung diterbangkan kembali ke Samarinda dan dieksekusi sesuai putusan MA. Ia bahkan kemudian ditahan di Rutan Kelas IIA Sempaja, menjalani sisa hukuman lima tahun dikurangi kemungkinan masa tahanan sebelumnya (sekitar 9bulan).
Selain penjara, ia juga diwajibkan membayar denda Rp 60juta, jika tidak maka diganti satu bulan kurungan tambahan.
Refleksi dan Implikasi
Kasus ini mengungkapkan betapa sulitnya memburu buronan yang memiliki akses ke berbagai provinsi dan mampu mengganti identitas. Sementara itu, pihak Kejaksaan menegaskan bahwa tidak ada ruang aman bagi pelaku kejahatan, bagaimanapun mereka berusaha menghilang, hukum tetap memburu mereka.
Penegasan yang sama diulang oleh Jaksa Agung melalui program “Tangkap Buronan” (Tabur), bahwa persembunyian tak akan menyelamatkan pelaku dari jeratan hukum. Kasus ini menjadi peringatan tegas bahwa pelarian panjang bukan jaminan kebebasan dari hukum.