Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini Ahmad Nashih Luthfi: Menyelesaikan Sampah dari Hulu

Opini Ahmad Nashih Luthfi Menyelesaikan Sampah dari Hulu

Menyelesaikan Sampah dari Hulu

Ahmad Nashih Luthfi 
(Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional; Anggota Lakpesdam PWNU DIY)


Sampah telah menjadi masalah serius di Indonesia. Berdasarkan data agregat dari 285 kabupaten/kota, ada 34,3 juta ton sampah per tahun. Dari jumlah itu, yang terkelola 21,94 juta ton (63,96 persen) dan tidak terkelola 12,36 juta ton (36,04 persen). Dari mana sumber sampah? Sebanyak 38,3 persen berasal dari rumah tangga, 27 persen dari pasar tradisional. Jika melihat jenisnya, 40,7 persen adalah sisa makanan, 13,3 persen ranting/daun, 11,1 persen kertas karton (SIPSN-KLHK 2022).

Ringkasnya, mayoritas adalah sampah organik atau materi daur ulang. Ini di luar limbah, bahan berbahaya dan beracun yang dihasilkan oleh industri, perkantoran, dan pusat-pusat perniagaan yang semakin tumbuh seiring dengan tingkat konsumsi warga atau aktivitas produksi industrial.

Wilayah-wilayah padat di Indonesia semakin mengalami masalah serius terkait sampah. Kota Tangerang Selatan, misalnya, dengan melihat tren yang ada, mengalami overload 5,28 meter kubik (Nugraheni 2017). Kota Depok menghasilkan 1.250 ton sampah per hari dengan kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) di Cipayung sebanyak 750 ton per hari (Maesarini dkk 2020).

Kota Bandung menghasilkan 2.000 ton sampah per hari, padahal TPA Sarimukti hanya memiliki daya tampung 1.200 ton per hari. Demikian juga Daerah Istimewa Yogyakarta yang banyak disoroti saat ini, produksi sampahnya mencapai 781.045 ton per tahun. Penanganan sampah hanya mampu 590.089 ton per tahun (75,5 persen).

Kondisi membeludak ini mengakibatkan penutupan TPA Piyungan sejak 21 Juli 2023 hingga 5 September 2023. Penutupan tempat penampungan sampah yang terbesar di DIY ini menambah ruwet permasalahan sehingga warga menyebut kondisi sekarang sebagai ”Jogja Darurat Sampah”.

Warga merespons dengan jalan pintas. Mereka meletakkan bungkusan sampah di mana-mana seperti di pinggir jalan, dekat trotoar, lapangan terbuka untuk olahraga, bahkan di Alun-alun Kidul. Banyak warga membakar sampah plastik sehingga menimbulkan asap pekat. Kepala Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta mengakui bahwa beberapa minggu terakhir partikel polusi udara Kota Yogyakarta naik dari 23 menjadi 39µm, menggunakan pengukuran konsentrasi PM 2,5 (Detik.com, 10/8/2023).

Ada dua kondisi yang saling membentuk yang mengakibatkan “Jogja Darurat Sampah” saat ini. Pertama, problem struktural berupa lemahnya kapasitas negara dalam menunaikan kewajiban pengelolaan sampah. Kedua, problem kultural berupa rendahnya kesadaran serta praktik baik warga dalam mengelola sampah.


Problem hilirisasi sampah

Alokasi anggaran pengelolaan sampah didominasi untuk penanganan di tingkat hilir dengan 60 persen anggaran untuk pemrosesan di tingkat TPA/TPST (tempat pengolahan sampah terpadu) regional. Secara umum, dana pengelolaan sampah sangat rendah dan timpang, jika misalnya dibanding dengan dana untuk kebudayaan yang menjadi ikon dan salah satu aspek yang menopang keistimewaan Yogyakarta.

Anggaran untuk urusan kebudayaan sebesar Rp 755, 59 miliar (2021) dan Rp 898,35 miliar (2022) (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban/LKPJ DIY 2022: 267), dan sekitar Rp 1,1 triliun untuk tahun 2023 dari total Rp 1,4 triliun Dana Keistimewaan (Danais). Sementara anggaran penanganan sampah di TPA/TPST Regional di DIY sebesar Rp 38.363.999.200 (Dokumen Pelaksanaan Anggaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY 2023). Pada Mei 2023, baru terealisasi Rp 6.656.934.454 (7,35 persen) (Kurniawati 2023).

Dari forum dialog warga, seperti acara Jagongan Sampah di Panggungharjo (2 Juli 2023) dan diskusi publik Jogja Darurat Sampah di Sorowajan (3 Agustus 2023), diperoleh beberapa penilaian dan pengamatan. Pertama, pemerintah di berbagai level abai mengedukasi dan memfasilitasi warga dalam mengelola sampah yang tepat. Kedua, ketersediaan penampungan sampah yang aksesibel dan merata.

Ketiga, ketelanjuran timbulan sampah yang tidak dipilah dari rumah tangga itu diangkut begitu saja ke TPA/TPST tanpa pemilahan terlebih dahulu oleh dinas terkait. Aktivitas pengangkutan diduga memiliki nilai ekonomi yang besar, tetapi dimonopoli pihak tertentu sehingga dipertahankan daripada misalnya memfokuskan kepada pengolahan di hilir dalam berbagai skema.

Soal transparansi menjadi sorotan forum warga saat itu, termasuk penggunaan dana retribusi sampah yang dibayarkan pelaku usaha, utamanya perhotelan dan restoran. Potensi retribusi sampah ini besar sekali mengingat terdapat 1.696 hotel (berbintang dan non-berbintang), 1.225 rumah makan, dan 310 restoran di DIY (Aplikasi Dataku Bappeda DIY 2023).


Menyelesaikan sampah dari desa

Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengubah kegagalan kebijakan penanganan sampah yang berorientasi hilir. Strategi ini mempersyaratkan perubahan di level kebijakan dan di level kapasitas individu/komunitas.

Pertama, menjadikan penanganan sampah ke dalam sirkulasi ekonomi desa. Jika sampah diolah sebetulnya dapat menghidupkan sirkulasi ekonomi yang signifikan. Resikplus (2022) mengidentifikasi bahwa potensi sampah DIY sebagai sampah organik sebanyak 302,5 ton per tahun; sampah rosok (recycle) 55 ton per tahun; dan sisanya sampah residu 192,5 ton per tahun. Ini merupakan potensi ekonomi besar jika diolah.

Gambaran di tingkat nasional juga sama, sehingga desa perlu digerakkan menuju perubahan itu. Sebanyak 96,5 persen sampah masuk TPA tanpa dipilah. Hanya ada pengurangan 3,5 persen hasil dari composting, recycling, adanya fasilitas pengolahan sampah (Intermediate Treatment Facilities/ITF), dan Bank Sampah (Kompas, 20 Mei 2022). Dalam desain ekonomi sirkuler, diharapkan agenda ini berperan mengurangi persentase pengangguran di DIY yang saat ini angkanya mencapai 4,06 persen dari 2.336.076 jiwa penduduk DIY.

Kedua, sampah tidak menjadi peluang ekonomi jika pemilahan jenis sampah tidak dilakukan. Maka, pemilahan di tingkat keluarga menjadi kunci dalam pengelolaan sampah. Praktik baik ini disambut dengan ketersediaan fasilitas di level terdekat dengan warga (RT dan padukuhan). Pemilahan dan pengolahannya dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi tepat guna.

Begitu pula pengolahan sampah organik dapat menghasilkan produksi kompos untuk pertanian, ataupun dikelola melalui pemanfaatan larva maggot sebagai pemakan sampah rakus. Maggot ini dapat menjadi pakan ternak organik. Kerja sama dengan sektor lain seperti peternakan dan pertanian diperlukan, termasuk pihak swasta atau BumDes dalam menghidupkan ekonomi sirkuler ini. Daur ekologis dapat tercipta di level desa.

Ketiga, realokasi budget. Segenap perubahan itu hanya dinilai tidak adil jika menumpukan penyelesaian masalah sampah kepada warga. Perubahan hanya akan mungkin jika pemerintah DIY melakukan perubahan mendasar pula. Alokasi budget dan segenap infrastrukturnya harus lebih berorientasi pada sektor hulu. Sektor hilir yakni keberadaan TPA/TPST dan sejenisnya hanya untuk sampah residu atau limbah.

Keempat, penyediaan tanah desa. Ketersediaan tanah yang masih luas di DIY untuk dioptimalkan dalam pengelolaan sampah mulai dari hulu adalah tanah desa. Luas tanah desa mencapai 24.609 hektar, tersedia di 392 kalurahan/desa dan 46 kelurahan di DIY. Ini belum lagi tanah kasultanan (SG)/tanah kadipaten (PAG) seluas 7.901 hektar (Mei, DPTR 2023).

Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) DIY No 1/2017 disusul Peraturan Gubernur DIY 34/2017 telah mengubah tanah desa menjadi tanah SG/PAG. Jika digabungkan, maka tersedia 32.510 hektar tanah kerajaan atau 10,207 persen dari luas total wilayah DIY yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah sampah, baik dalam kondisi darurat maupun jangka panjang.

Desa perlu aktif mengorkestrasi agenda besar itu. Ini penting untuk menjawab banyak kritikan bahwa desa hanya mengambil peran layanan administratif belaka. Desa di Yogyakarta juga dinilai menghabiskan danais hanya untuk urusan kebudayaan yang direalisasikan dalam bentuk festival-festival yang ironisnya sering kali acara-acara tersebut menyisakan banyak sampah.

Tatkala otonomi desa telah diperkuat melalui UU No 6/2014 tentang Desa dalam hal rekognisi, subsidiaritas, konsolidasi keuangan dan aset, serta demokratisasi, kini saatnya desa-desa di DIY ditantang untuk menyelesaikan masalah nyata. Dengan sendirinya, dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta, maka penting menafsirkan ulang kebudayaan dengan kesadaran ekologis serta desa dan komunitas desa yang memiliki daya resiliensi menghadapi bencana/masalah ekologis.


Bukan memeratakan polusi

Penyediaan tanah desa dan SG/PAG untuk pengelolaan sampah di level desa itu memerlukan kesiapan dan kesungguhan pemerintah desa dan komunitas desa. Pengelolaan di level desa dipastikan hanya untuk sampah organik dan rosok, dan bukan sampah residu dan limbah. Tentu saja setelah mengukur kemampuan kelola ekonomi sirkuler desa yang reliabel. Sehingga, berikutnya strategi kelima adalah peningkatan kapasitas warga.

Pada tingkatan filosofis perlu ada perubahan pola pikir. Secara filosofis, manusia terbiasa memikirkan ”penghidupan yang lebih baik” adalah dalam arti apa yang bisa masuk ke dalam diri: sandang, pangan, papan hingga kebutuhan mewah lainnya. Hidup lebih sejahtera adalah hidup lebih banyak mengonsumsi. Prinsip ini abai memikirkan ”apa yang keluar dari diri” yang berpotensi menghasilkan sampah. Pangan yang terus kita konsumsi, pakaian yang terus kita beli, pernak-pernik yang kita kumpulkan, berubah menjadi sampah bahkan mubazir sebelum dimanfaatkan sebab untuk memenuhi hasrat konsumsi belaka.

Kesadaran mengelola apa yang keluar dari diri, yakni sampah, harus dipupuk sejak dini. Bukan hanya orangtua yang bertanggung jawab memungut sampah, memasukkan ke tempatnya, tetapi anak kecil dan remaja. Mereka diteladankan melakukan praktik baik sejak usia awal. Dorongan konsumerisme ditekan. Praktik-praktik buruk menambah parahnya timbulan sampah seperti penggunaan kantong plastik sekali pakai, kebiasaan buruk menyisakan makanan, pamer foto makanan yang instagramable tanpa diketahui dihabiskan-tidaknya. Ekonomi DIY yang tumbuh melalui ekonomi kuliner dan pariwisata perlu memiliki desain serius dalam mengatur soal ini.

Penumbuhan kesadaran nir-sampah dilakukan di keluarga, sekolah, dan komunitas seperti pesantren, masjid, gereja, perkantoran, serta tempat ibadah lain. Semua memiliki potensi besar dalam mengedukasi dan mewujudkan praktik baik kepada warga atau umat. Keberadaan pesantren berwawasan ekologis, masjid ekologis, gereja ekologis, kantor ekologis, RT atau perumahan ekologis dan seterusnya perlu diwujudkan di DIY. Para pemuka agama perlu turun tangan merespons ”Jogja Darurat Sampah” ini. Kepedulian inilah yang justru akan menopang keistimewaan Yogyakarta dalam makna yang lebih nyata, berdampak luas pada masyarakat dan alam.


Ekonomi sirkuler desa-desa

Desa-desa di Indonesia perlu memikirkan potensi pengembangan ekonomi sirkuler dalam menyelesaikan masalah sampah di wilayahnya masing-masing. Ini dapat dimulai dengan mengidentifikasi potensi tanah desa atau tanah publik sejenisnya seperti tanah negara. Tanah adat di berbagai tempat juga dapat didayagunakan, seperti tanah negeri di Ambon, tanah nagari di Minangkabau, tanah gogol-gilir di Jawa Timur, tanah buruhan-pekulen di Bagelen, dan sebagainya. Atau pun, tanah-tanah yang ditelantarkan oleh perseorangan sehingga perlu dioptimalkan fungsinya. Perombakan akses terhadap segenap potensi tanah publik itu untuk kelompok rentan, juga perlu diarahkan untuk kelestarian lingkungan.

Posting Komentar untuk "Opini Ahmad Nashih Luthfi: Menyelesaikan Sampah dari Hulu"