Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini Ahmad Almaududy Amri: Perjanjian Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut dan Kepentingan Indonesia

Perjanjian Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut dan Kepentingan Indonesia

Perjanjian Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut dan Kepentingan Indonesia

Ahmad Almaududy Amri
Alumnus School of Law University of Wollongong, Australia; Legal Adviser Presiden Majelis Umum PBB Sesi Ke-75


Proses negosiasi Perjanjian BBNJ berjalan cukup lama dan dilakukan melalui beberapa tahap pembahasan, termasuk komite persiapan (preparatory committee) dan Intergovernmental Conference (IGC).

Pertemuan IGC dimulai pada 2018 dan diselesaikan dengan pertemuan sesi lanjutan IGC ke-5 tahun 2023, yang sekaligus menjadi pertemuan untuk mengesahkan Perjanjian BBNJ. Semenjak tahapan awal pembahasan, Indonesia selalu aktif menyuarakan kepentingan nasionalnya.

Melalui perjanjian ini, negara-negara anggota PBB ingin memastikan pelaksanaan konservasi (conservation) dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use) dari keanekaragaman hayati laut di luar yurisdiksi nasional (areas beyond national jurisdiction/ABNJ) dapat terus dinikmati generasi selanjutnya di masa mendatang.

Tentu, dalam pelaksanaannya akan saling melengkapi dengan berbagai ketentuan UNCLOS yang relevan melalui kerja sama dan koordinasi pada tingkat internasional.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan negara dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 memiliki kepentingan untuk memastikan agar haknya terjaga dan terpenuhi dalam perjanjian yang mengatur keanekaragaman hayati di ABNJ tersebut.

Semua kepentingan Indonesia diutarakan, diperjuangkan, dan dirundingkan bersama negara-negara lain pada pertemuan komite persiapan dan IGC.


Tujuh poin penting

Dari proses panjang ini, tercatat berbagai ketentuan dalam perjanjian ini yang sejalan dengan kepentingan Indonesia dan negara berkembang lainnya. Setidaknya, terdapat tujuh hal yang akan memberi manfaat untuk Indonesia jika perjanjian tersebut berlaku.

Pertama, diterimanya prinsip common heritage of mankind (CHM—warisan bersama umat manusia) dalam perjanjian ini. Prinsip ini menekankan bahwa konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, termasuk marine generic resources (MGR—sumber daya generik laut) merupakan warisan bersama (common heritage) untuk kemaslahatan umat manusia.

Penerimaan ini merupakan kemenangan bagi negara-negara berkembang karena awalnya prinsip ini dalam UNCLOS hanya dikenal untuk pemanfaatan dasar laut. Dengan diterimanya prinsip ini, maka terjadi perluasan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang bermanfaat untuk Indonesia dan negara berkembang lainnya.

Melalui prinsip CHM, perjanjian ini tak hanya menerapkan prinsip freedom of fishing (kebebasan mengeksploitasi sumber daya perikanan) yang menguntungkan negara maju yang memiliki kapasitas di sektor perikanannya. Namun, prinsip ini juga dijadikan salah satu dasar penerapan fair and equitable sharing of benefit (pembagian manfaat yang adil dan merata).

Kedua, pengakuan negara kepulauan (sebagai bagian dari negara berkembang) pada perjanjian ini diberikan perhatian khusus dalam rangka pengembangan kapasitas dalam pemanfaatan MGR dan digital sequence information (DSI) di ABNJ.

Hal ini menguntungkan Indonesia dan negara lain yang memiliki status sebagai negara kepulauan berdasarkan ketentuan UNCLOS.

Ketiga, disepakatinya fair and equitable sharing of benefit dalam pemanfaatan MGR dan DSI. Terdapat beberapa mekanisme pembiayaan yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dan negara-negara berkembang lain, seperti non-monetary benefit (manfaat non-moneter).

Dengan pemanfaatan ini, negara berkembang akan mendapatkan akses atas sampel dan DSI, transfer teknologi kelautan, serta pengembangan kapasitas. Selain itu, terdapat pula monetary benefit (manfaat moneter) dari utilisasi MGR dan DSI yang diatur secara rinci dalam mekanisme pembiayaan Perjanjian BBNJ.

Keempat, disepakatinya modalitas transfer teknologi kelautan (marine technology) untuk negara berkembang. Sesuai dengan kapasitas masing-masing, negara-negara pihak perlu bekerja sama dalam mewujudkan transfer teknologi kelautan untuk negara berkembang melalui riset dan akses terhadap teknologi kelautan.

Kelima, sejalan dengan kepentingan Indonesia, perjanjian ini menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan (environmental impact assessment /EIA) guna melindungi dan melestarikan lingkungan laut.

Dalam menjalankan aktivitas pemanfaatan keanekaragaman hayati di ABNJ, negara perlu memastikan langkah-langkah untuk mencegah, memitigasi, dan mengelola terjadinya dampak yang merugikan terhadap lingkungan laut. Sejalan dengan ambang batas (threshold) yang diatur oleh UNCLOS, negara wajib untuk melaksanakan EIA jika aktivitas pemanfaatan berpotensi menyebabkan perubahan yang signifikan dan merusak lingkungan laut.

Keenam, Perjanjian BBNJ membuka peluang menerapkan perangkat pengelolaan berbasis kawasan (area-based management tools/ABMT) dalam rangka konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan di ABNJ.

Terkait hal tersebut, perjanjian ini mendorong penguatan kerja sama dan koordinasi di antara negara pihak dalam menerapkan ABMT, termasuk kawasan laut yang dilindungi (marine protected areas/MPA). Hal ini sejalan dengan kebijakan Indonesia untuk memperluas wilayah konservasi laut.

Ketujuh, institusi/badan baru yang akan dibentuk sebagai amanat dari Perjanjian BBNJ memberikan peluang keterlibatan Indonesia untuk menduduki posisi strategis pada salah satu badan yang akan dibentuk, yaitu Scientific and Technical Body (STB). Indonesia memiliki peluang untuk mengirimkan ilmuwan dan perwakilan terbaiknya untuk menjadi anggota STB tersebut.

Keanggotaan dalam STB memiliki pengaruh dalam berbagai kebijakan implementasi Perjanjian BBNJ, termasuk dalam menerapkan ketentuan mengenai ABMT dan EIA.

Perjanjian BBNJ akan memulai proses penandatanganan pada bulan September 2023, bertepatan dengan pelaksanaan Pekan Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB. Indonesia perlu mempertimbangkan untuk menandatangani pada kesempatan pertama. Ini akan mengikuti preseden Indonesia menandatangani UNCLOS pada hari pertama konvensi, 10 Desember 1982.

Dengan berbagai manfaat Perjanjian BBNJ, Indonesia selanjutnya perlu segera mempertimbangkan untuk memulai proses koordinasi dan penjajakan dalam rangka ratifikasi Perjanjian BBNJ setelah ditandatangani. Proses ini akan memerlukan waktu mengingat perlu dilakukan analisis terkait untung-ruginya jika Indonesia memilih mengikatkan diri pada Perjanjian BBNJ dengan meratifikasi perjanjian tersebut.

Selain itu, perlu juga dilakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan nasional yang sejalan atau memerlukan proses penyesuaian jika Perjanjian BBNJ akan diberlakukan sebagai hukum nasional di masa akan datang.

Posting Komentar untuk "Opini Ahmad Almaududy Amri: Perjanjian Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut dan Kepentingan Indonesia"