Perpustakaan Menghadapi Politik Pengetahuan
Pustakawan di Perpustakaan Nasional
Dalam konteks global hari ini, hegemoni dari negara-negara maju di Global Utara—Amerika Serikat dan Eropa Barat—atas ilmu pengetahuan di negara berkembang atau Global Selatan kian nyata. Jika dominasi pengetahuan ini terus dibiarkan, akan menghambat kemajuan negara-negara Global Selatan, termasuk Indonesia, karena bergantung pada produksi pengetahuan di Global Utara.
Sering kali pengetahuan—khususnya dalam konteks ilmu sosial humaniora—yang diproduksi di Utara tidak selalu cocok dengan konteks di Selatan. Untuk itu, pengetahuan tidak boleh menjadi barang yang elitis.
Pengetahuan harus didemokratisasikan dengan cara mengajak masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam proses dinamika pengetahuan. Dalam hal ini, perpustakaan memegang peran yang penting untuk mendemokratisasikan pengetahuan kepada publik.
Ketimpangan pengetahuan
Dalam opini singkat ini, saya ingin mengajak pembaca untuk memahami bahwa politik pengetahuan yang menciptakan ketidaksetaraan dan ketimpangan itu nyata adanya. Tentu saja ini sudah disadari oleh para intelektual dan sarjana di masa lalu yang melihat adanya ketimpangan pengetahuan antara Barat dan Timur, antara Global Utara dan Global Selatan, antara ”pusat” dan ”periferi”. Hal ini menyebabkan pengetahuan didiskusikan dan diproduksi secara elitis di negara-negara maju. Hasilnya, tentu saja, menjadi tidak relevan dengan masalah nyata yang dihadapi oleh negara-negara di Global Selatan.
Dalam perspektif publik, ketimpangan bisa saja dimulai dengan akses terhadap pengetahuan dan informasi. Masyarakat di negara-negara Global Utara mampu memahami perkembangan dunia karena mereka memiliki akses yang mudah atas pengetahuan. Sementara itu, masyarakat di Global Selatan menghadapi berbagai kesulitan dalam mendapatkan sumber pengetahuan.
Padahal, jika membandingkan antara jumlah perpustakaan di Amerika Serikat dan Indonesia, misalnya, sekilas seharusnya tidak ada ketimpangan pengetahuan yang signifikan karena jumlahnya tidak terlalu timpang. Bahkan, jumlah perpustakaan Indonesia melebihi jumlah perpustakaan di Amerika Serikat.
Menurut American Library Association (ALA)—informasi di-update pada 3 Mei 2023—jumlah perpustakaan di Amerika Serikat sebanyak 123. 627 perpustakaan. Sedangkan pada 2022 Perpustakaan Nasional RI menyatakan bahwa jumlah perpustakaan di Indonesia sebanyak 158.364 perpustakaan. Bahkan, pada 2023 terdapat target untuk menambah perpustakaan sebanyak 6.246 perpustakaan. Secara kuantitatif Indonesia tampak lebih unggul dari Amerika Serikat dalam hal kuantitas perpustakaan.
Kendati demikian, data kuantitatif terhadap jumlah perpustakaan saja tidak cukup. Data dari UNESCO Institute of Statistics pada 2017 memperlihatkan bahwa lebih dari 617 juta anak di dunia tidak mencapai level kemampuan minimum (minimumm proficiency levels/MPLs) dalam membaca dan matematika. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah anak-anak yang tidak mencapai MPLs paling banyak berada di Asia Tengah dan Selatan, diikuti Sub-Sahara Afrika serta Asia Timur dan Tenggara.
Indonesia masuk dalam kelompok Asia Tenggara, tingkat MPLs masih kalah dari Amerika Serikat. Tentu saja ini disebabkan berbagai macam faktor. Kurangnya buku yang beredar di masyarakat merupakan salah satunya.
Kepala Perpustakaan Nasional RI pernah menyatakan bahwa di Indonesia satu buku ditunggu oleh 5.000 orang. Sedangkan standar bagi UNESCO adalah satu orang harusnya menunggu tiga buku saja untuk dipinjam.
Selain itu, upaya diseminasi pengetahuan belum dapat terlaksana dengan baik. Pengetahuan masih menjadi diskursus yang elitis. Jika ini masih terjadi, masyarakat Global Selatan, termasuk Indonesia, akan sulit keluar dari penjara politik pengetahuan.
Para sarjana, intelektual dan penulis dari kalangan masyarakat Global Selatan sebenarnya tidak kalah cerdas jika diberikan kesempatan yang setara. Sebagai contoh, pada awal abad ke-20 para pemuda Indonesia diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan modern. Ternyata mereka menghasilkan para pemikir dan intelektual brilian, seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Soekarno, dan Agus Salim. Jadi, ini hanyalah masalah kesempatan dan infrastruktur pengetahuan saja, bukan masalah kecerdasan bawaan dari suatu ras.
Demokratisasi pengetahuan
Berdasarkan hal tersebut, saya meyakini bahwa masalah politik pengetahuan bukan hanya masalah yang dihadapi oleh para sarjana dan intelektual yang berkumpul di dunia akademik saja. Ini merupakan masalah bersama yang harus dihadapi. Perpustakaan memiliki peran yang esensial dalam menghadapi politik pengetahuan yang sudah mengakar lama sejak era kolonial.
Salah satu peran esensial yang dapat dilakukan oleh perpustakaan adalah dengan mempercepat demokratisasi pengetahuan. Selama ini politik pengetahuan telah menghasilkan elitisme yang akut. Pengetahuan seakan-akan hanya menjadi masalah elite. Suara-suara yang terdengar mengenai perdebatan pengetahuan hanya berasal dari mereka yang berasal dari kampus-kampus top dunia.
Perpustakaan memiliki posisi yang unik karena institusi ini berbeda dari kampus. Semua orang, tanpa memandang usia, pekerjaan, gelar pendidikan, dapat belajar di perpustakaan. Mereka juga tidak perlu membayar uang semester atau uang pangkal untuk belajar di perpustakaan. Jadi, perpustakaan merupakan tempat untuk menciptakan peluang besar dalam mendemokratisasikan pengetahuan secara masif.
Demokratisasi pengetahuan akan memunculkan para intelektual yang berasal dari masyarakat sehingga mampu menciptakan ide, gagasan, dan perubahan yang konkret sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Jadi, nanti tidak lagi bergantung pada konsep-konsep yang diciptakan di kampus dan lembaga riset di negara-negara Global Utara.
Untuk mendorong demokratisasi pengetahuan, saya setuju jika jumlah perpustakaan perlu diperbanyak. Target Perpustakaan Nasional untuk menambah perpustakaan menjadi 6.246 perpustakaan pada 2023 perlu didukung. Kendati demikian, kuantitas saja tidak cukup. Kualitas koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan haruslah setara dengan kualitas koleksi di perpustakaan-perpustakaan negara maju Global Utara.
Proses akuisisi literatur-literatur berkualitas memang tidak murah. Pemangku kebijakan di pusat dan daerah harus terus mempererat koordinasi dan kerja sama untuk mengatasi pendanaan bagi pembelian literatur yang berkualitas. Perpustakaan Nasional RI sudah memiliki program E-Resources yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses jurnal-jurnal ilmiah secara daring.
Selain itu, demokratisasi pengetahuan juga harus dilakukan dengan cara menggelar acara diseminasi pengetahuan. Fungsi perpustakaan tentu saja bukan hanya sebagai pusat deposit dari buku-buku semata, melainkan juga penyebaran pengetahuan.
Perpustakaan dapat menggelar kelas-kelas tematik mengenai perubahan iklim, pembangunan ekonomi, pengembangan sains dan teknologi, hingga seni, budaya, serta humaniora untuk menciptakan ruang berinteraksi yang hidup. Selain itu, lokakarya yang bersifat vokasional dan praktis pun dapat diselenggarakan di perpustakaan. Perpustakaan Nasional RI sudah melakukan hal ini dengan menggelar seminar dan Focus Group Discussion (FGD) dengan berbagai tema yang sangat beragam secara berkala.
Terakhir, peran pustakawan pun sangat penting. Sekali lagi, saya ingin mengatakan bahwa pustakawan bukanlah penjaga buku. Pustakawan adalah agen diseminasi pengetahuan. Peran ini sama pentingnya dengan para profesor yang memproduksi pengetahuan di kampus-kampus.
Sayangnya, Indonesia masih kekurangan pustakawan. Kepala Perpustakaan Nasional RI pada April 2023 menyatakan jika Indonesia kekurangan pustakawan sebanyak 439.680 orang di semua jenis perpustakaan. Tentu saja ini belum memperhitungkan kualitas pustakawannya.
Sebagai agen diseminasi pengetahuan, pustakawan perlu mampu mengemas pengetahuan yang ada agar dapat diketahui dan dipahami dengan mudah oleh masyarakat. Dengan langkah-langkah tersebut maka demokratisasi pengetahuan dapat tercapai dan Indonesia dapat keluar dari jeratan politik pengetahuan.