Opini Muhamad Chatib Basri: Tua Sebelum Kaya?
Tua Sebelum Kaya?
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Malam cerah. Semilir angin bulan April berembus membawa pesan musim semi. Saya beruntung malam itu bertemu dengan Ricardo Hausmann, Guru Besar Ekonomi dari Harvard Kennedy School.
Malam mulai larut, ketika kami berdua berjalan kaki dari Harvard Faculty Club ke Charles Hotel di Harvard Square. Hausmann memang ramah, obrolan kami mengalir santai. Mantan Menteri Pembangunan Venezuela itu memang punya pemikiran tajam. Hausmann-lah yang memperkenalkan konsep growth diagnostic, economic complexity index, dan sebagainya.
Metode itu kemudian diterapkan di banyak negara untuk merancang strategi pembangunan. Saya ingat, malam itu ia menyampaikan keraguannya terhadap argumen bahwa India, Indonesia, dan China tumbuh menjadi besar karena memiliki pasar domestik yang besar.
Ia melontarkan sebuah pertanyaan: jika benar pasar domestik yang besar adalah penjelas pertumbuhan ekonomi di tiga negara itu, mengapa ekonomi China baru mulai tumbuh pesat pada akhir 1970-an, Indonesia pada pertengahan 1980-an, dan India sejak 1991? Bukankah ketiga negara tersebut sudah memiliki pasar yang besar sejak dulu?
Saya tercenung. Ia lalu melanjutkan: pertumbuhan ekonomi tumbuh pesat sejak mengadopsi orientasi ekspor. Untuk bisa bertahan hidup, produk ekspor dituntut terus melakukan investasi, juga inovasi agar bisa kompetitif. Itu sebabnya, mereka harus menyerap teknologi, skill, dan terus memperbaiki kualitas. Ia bicara tentang kompleksitas ekonomi. Ia bicara tentang pentingnya industrialisasi. Saya kira Hausmann benar.
Pasca-Jokowi
Saya jadi teringat obrolan itu ketika membaca pidato pengantar RAPBN 2024. Pemerintah menyatakan, situasi global masih tidak pasti, tetapi ekonomi Indonesia masih diasumsikan tumbuh 5,2 persen tahun 2024. Bagaimana kita meramu strategi pembangunan di tengah dunia yang tak pasti ini?
Pertanyaan ini menjadi penting mengingat tahun 2024 adalah tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. Bagaimana prospek kebijakan ekonomi setelah era Jokowi?
Dunia memang gamang. Tingkat inflasi yang relatif tinggi di Amerika Serikat (AS) tampaknya masih akan bertahan. Angka pengangguran terbuka bulan Juli 2023 di AS tercatat 3,5 persen. Menurun dibandingkan dengan pada Juni yang sebesar 3,6 persen. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pengangguran alami non-accelerating inflation rate of unemployment (NAIRU).
Apa artinya? Di AS, NAIRU dianggap sekitar 5 persen. Jika angka pengangguran berada di bawah 5 persen, inflasi akan meningkat akibat ekonomi yang memanas, dan jika angka pengangguran di atas 5 persen, inflasi akan menurun. Indikator itu menunjukkan permintaan tenaga kerja terus meningkat, padahal pasokan tenaga kerja yang tersedia menurun. Ketika permintaan lebih tinggi daripada penawarannya, harga (tingkat upah) meningkat. Terjadilah inflasi.
Untuk mengatasinya, angka pengangguran harus dikembalikan ke tingkat normalnya, 5 persen. Salah satu caranya: menaikkan bunga The Fed. Kenaikan bunga akan menurunkan permintaan. Harga akan turun. Tentu ada yang harus dikorbankan: pertumbuhan ekonomi dan pengangguran.
Dengan logika ini, saya menduga The Fed akan kembali menaikkan bunga ke depan. Akibatnya, investor akan melihat bahwa imbal investasi dalam dollar AS akan sama menariknya dengan investasi dalam rupiah. Dengan peringkat investasi AS yang relatif lebih baik daripada Indonesia, bukan tidak mungkin investor akan memilih menempatkan investasinya dalam dollar AS.
Terjadilah arus modal keluar (capital outflow). Akibatnya, akan ada tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Ini mungkin yang menjelaskan mengapa dalam beberapa waktu terakhir kita melihat adanya tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Aktivitas jual beli mata uang asing di perusahaan penukaran uang asing Valuta Artha Mas di ITC Kuningan, Jakarta, Senin (7/8/2023). Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin, nilai tukar rupiah Rp 15.178 per dollar AS.
Inflasi di Indonesia sebenarnya relatif rendah dibandingkan dengan banyak negara, tetapi ruang Bank Indonesia untuk menurunkan bunga menjadi terbatas.
Opsi yang ada: menaikkan bunga—mengikuti The Fed—atau mempertahankan tingkat bunga, sambil melakukan intervensi secara terbatas di pasar uang dan menerapkan makroprudensial atau kombinasi dari itu semua.
Akibatnya, investasi akan melambat. Kenaikan bunga di banyak negara juga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Permintaan terhadap energi dan komoditas akan menurun.
Ekspor Indonesia akan terdampak karena energi dan komoditas memiliki peran yang amat penting dalam struktur ekspor kita. Kita sudah melihat gejala ini dalam triwulan II-2023.
Dalam situasi seperti ini, sebenarnya fiskal perlu didorong. Namun, studi saya dan Sumartono (2023) menunjukkan, dalam situasi di mana nilai tukar perdagangan (terms of trade) menurun akibat penurunan harga komoditas dan energi, fiskal cenderung kontraksi (pro-cyclical).
Data menunjukkan itu: fiskal kita masih mengalami surplus sampai dengan akhir Juli 2023. Ada risiko pertumbuhan ekonomi akan melambat di triwulan III dan IV-2023 dan tahun 2024. Itu sebabnya, perlu percepatan realisasi belanja pemerintah. Namun, saya tak melihat risiko resesi. Ekonomi Indonesia masih akan tumbuh relatif kuat walau mungkin akan lebih rendah dari 5,2 persen.
Jika ekonomi tumbuh sekitar 5 persen pada tahun 2024, praktis dalam sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi kita berada dalam kisaran 5 persen. Pertumbuhan ekonomi 5 persen—di tengah dunia yang bergejolak—tentu sebuah prestasi yang cukup baik, terutama dibandingkan dengan banyak negara di dunia.
Hal ini layak diapresiasi. Namun, kita juga harus adil untuk mengakui, pertumbuhan ekonomi 5 persen tak cukup untuk melepaskan kita dari jebakan pendapatan menengah. Bappenas menunjukkan, untuk menghindari jebakan pendapatan menengah, pertumbuhan ekonomi harus dipacu di atas 6-7 persen.
Ruang untuk itu terbuka karena Indonesia memiliki bonus demografi saat ini. Persoalannya, jendela kita terbatas. Setelah tahun 2050, Indonesia mulai memasuki era penduduk usia lanjut.
Peningkatan proporsi penduduk usia lanjut akan menurunkan produktivitas, dependency ratio meningkat. Akibatnya, penerimaan pajak menurun. Di sisi lain, beban biaya kesehatan, pensiun, akan meningkat. Bisa diduga beban fiskal meningkat. Jika pertumbuhan ekonomi mandek di kisaran 5 persen, ada risiko Indonesia ”menjadi tua sebelum kaya”.
Implikasinya, pertumbuhan ekonomi harus dipacu sampai tahun 2050. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan?
Pilihan kebijakan
Ruang pilihan ruang kebijakan ekonomi di masa depan relatif terbatas. Mengapa? Rata-rata incremental capital output ratio (ICOR) 2016-2022 sekitar 6,76. Artinya, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1 persen dibutuhkan rasio investasi/produk domestik bruto (PDB) sebesar 6,76 persen.
Jika kita ingin tumbuh 6-7 persen, kita membutuhkan rasio investasi/PDB antara 40,6 persen dan 47,3 persen. Investasi ini tentu harus dibiayai oleh tabungan domestik.
Data Bank Dunia menunjukkan, rasio tabungan domestik/PDB rata-rata periode 2016-2022 sebesar 37 persen dari PDB. Tabungan domestik tak mencukupi. Ada selisih 3,5-10,3 persen dari PDB. Selisih ini mencerminkan defisit dalam transaksi berjalan.
Artinya, jika kita memacu pertumbuhan ekonomi sampai 6-7 persen, defisit transaksi berjalan akan meningkat menjadi 3,5-10 persen. Apabila itu terjadi, investor akan memindahkan investasi portofolionya, rupiah melemah.
Kebijakan industri
Di sini kita seperti terjebak antara masalah defisit transaksi berjalan dan pertumbuhan. Apa yang bisa dilakukan?
Pertama, menurunkan ICOR dengan cara meningkatkan produktivitas. Artinya, dengan input yang sama, akan dihasilkan output yang lebih tinggi.
Mitali Das (2018) menulis sebuah risalah yang menarik tentang produktivitas di Indonesia. Ia menunjukkan perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan ekspor, dan arus investasi asing melalui modal langsung (PMA) akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke 7 persen.
Saya setuju, bahkan saya melihat potensi Indonesia untuk tumbuh lebih dari 7 persen. Untuk itu, produk ekspor harus didiversifikasi, baik jenis maupun negara tujuannya (Basri dan Rahardja, 2011). Studi saya dan Rahardja (2011) menunjukkan negara yang memiliki proporsi medium dan high tech manufacturing yang tinggi cenderung memiliki volatilitas ekspor yang rendah.
Sebaliknya, negara yang bersandar pada sumber daya alam memiliki volatilitas ekspor yang tinggi. Industrialisasi menjadi penting. Meminjam konsep Hausmann, economic complexity kita masih rendah, di bawah Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Diversifikasi ekspor membutuhkan inovasi. Inovasi membutuhkan penelitian dan pengembangan (litbang). Sayangnya, litbang kita lemah. Teknologi tidak begitu saja diperoleh dari negara maju. Dibutuhkan insentif agar aktivitas litbang berjalan.
Di sini peran pemerintah dibutuhkan. Berikan potongan pajak untuk aktivitas litbang dan pelatihan. Eksperimen dengan produk baru hanya bisa dilakukan jika ada keuntungan. Biaya logistik yang tinggi mengurangi keuntungan sehingga insentif untuk melakukan inovasi produk baru terhalang. Karena itu, perbaikan dalam logistik, melalui pembangunan infrastruktur, tidak bisa ditawar.
Promosi dan pemasaran juga merupakan salah satu kendala yang menghambat ekspor kita. Inovasi jelas butuh SDM yang baik. Itu sebabnya, fokus untuk memperbaiki kualitas SDM adalah langkah tepat. Bagi saya, kebijakan industri untuk mendorong SDM dan litbang punya pembenaran. Ia mirip investasi dalam kesehatan dan pendidikan.
Masalahnya, data BPS menunjukkan, peningkatan penganggur muda terjadi di kelompok tamatan SMK. Mungkin karena yang dipelajari di SMK tak cocok dengan kebutuhan perusahaan. Jika itu soalnya, berikan potongan pajak berganda untuk perusahaan yang melakukan pelatihan untuk perbaikan kualitas SDM-nya. Ide ini sudah dilakukan, tetapi implementasinya masih rumit.
Kedua, meningkatkan tabungan domestik. Hal ini hanya bisa dilakukan jika tabungan pemerintah meningkat. Siapa pun yang menjadi presiden tahun 2024 harus menaikkan rasio penerimaan pajak/PDB. Risalah saya bersama Mayara Felix, Rema Hanna, dan Ben Olken (2021) menunjukkan hal ini bisa dilakukan, salah satunya, melalui reformasi dalam administrasi perpajakan. Kementerian Keuangan telah mulai menerapkan ide ini.
Ketiga, defisit transaksi berjalan adalah hal normal dalam tahap awal pembangunan bagi negara berkembang. Di awal pembangunannya, negara berkembang, termasuk Singapura, China, Vietnam, Korea Selatan—karena keterbatasan modal—harus mengimpor barang modal untuk proses produksi.
Yang jadi soal bukanlah defisit transaksi berjalan, tetapi pembiayaannya. Selama defisit transaksi berjalan dibiayai oleh penanaman modal langsung di sektor yang berorientasi ekspor—bukan portofolio—defisit transaksi berjalan bukan sebuah masalah.
Pabrik yang dibangun melalui modal langsung tak mudah berpindah tempat. Sebaliknya, investasi portofolio dapat bergerak keluar masuk dengan mudah.
Akibatnya terjadilah gejolak di pasar keuangan. Mengapa PMA di sektor ekspor? Karena ekspor menghasilkan devisa sehingga ketika repatriasi keuntungan dilakukan, tidak ada tekanan dalam neraca pembayaran akibat ketidaksesuaian mata uang (currency mismatch). Jika pertumbuhan ekonomi ingin didorong, tanpa perlu khawatir akan stabilitas rupiah, PMA harus didorong.
Malam makin larut. Di Bennett Street kami berpisah. Dunia memang tak seindah Cambridge di musim semi. Tantangan ke depan jelas tak mudah. Dibutuhkan kebijakan yang cermat. Ada ruang untuk kebijakan industri, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, asal dilakukan dengan cermat dan terus dievaluasi.
Kita memang punya pengalaman buruk dengan kebijakan industri. Kita tahu government is very bad at picking winners, but losers are very good at picking government. Itu sebabnya, intervensi harus dilakukan dengan transparan.
Posting Komentar untuk "Opini Muhamad Chatib Basri: Tua Sebelum Kaya?"