Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini Arif Satria: Perguruan Tinggi dan Industrialisasi Baru

Perguruan Tinggi dan Industrialisasi Baru

Perguruan Tinggi dan Industrialisasi Baru

Arif Satria
Rektor IPB University; Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (2021-2023)


Akibat Revolusi Industri 4.0 tersebut, sampai dengan 2025 ada 97 juta pekerjaan baru yang akan menggantikan 85 juta pekerjaan lama (WEF, 2020). Ketika dunia usaha dan dunia industri (DUDI) makin kencang berlari dengan teknologi baru yang memerlukan kompetensi dan keterampilan baru, bagaimana kesiapan perguruan tinggi (PT) untuk mengimbangi laju industrialisasi tersebut?

Tampaknya kita perlu untuk mendudukkan kembali posisi perguruan tinggi dan DUDI di tengah lanskap baru perubahan tersebut.


”Microcredentials” dan keterampilan baru

Apakah lulusan perguruan tinggi sudah memenuhi harapan DUDI? Tentu tidak semua perguruan tinggi siap menghasilkan lulusan dengan keterampilan dan kompetensi baru yang dibutuhkan industri.

Karena kebutuhan keterampilan baru tersebut, DUDI menyelenggarakan pendidikan alternatif melalui microcredentials. Microcredentials adalah bentuk sertifikasi kompetensi yang diperoleh mahasiswa setelah melaksanakan proses pembelajaran praktik terhadap serangkaian keterampilan, pengetahuan, dan sikap dalam waktu yang relatif singkat.

Kini banyak perusahaan di dunia yang menyelenggarakan microcredentials ini dan mensyaratkan sertifikat profesional dalam perekrutan. Google Career Certificates adalah contoh program sertifikasi hingga enam bulan untuk keahlian baru, dan menjanjikan dukungan dalam pencarian kerja untuk posisi analis data, IT support, dan UX designers.

Hasil survei Coursera (2023) di 11 negara menunjukkan 88 persen pengguna lulusan meyakini sertifikat profesional akan menjadi dokumen penting dalam pelamaran kerja. Mereka juga masih percaya terhadap perguruan tinggi dan menganggap gelar masih penting.

Bahkan, menurut mereka, 37 persen pekerjaan berketerampilan sedang (pendidikan SMK dan vokasi kurang dari empat tahun) masih memerlukan gelar. Sementara, sekitar 90 persen mahasiswa juga setuju bahwa sertifikat profesional akan membantu mengamankan pekerjaan ketika lulus nantinya.

Alasan mahasiswa mengambil sertifikat profesional adalah karena sertifikasi tersebut dimasukkan dalam kredit mata kuliah (56 persen).

Bagaimana respons pimpinan perguruan tinggi terkait microcredentials? Di Amerika Serikat, 95 persen pemimpin perguruan tinggi setuju bahwa microcredentials menjadi bagian dari pendidikan tinggi mendatang agar makin relevan dengan dunia kerja meski hingga saat ini di dunia hanya 56 persen yang memiliki proses evaluasi tingkat relevansi tersebut.

Dari survei tersebut disimpulkan bahwa pendidikan bergelar yang dilengkapi dengan non-gelar (sertifikat profesional) inilah yang dikehendaki dunia industri.

Namun, jenis keterampilan yang akan diperoleh melalui microcredential juga perlu terus dilengkapi. Memang pada saat ini keterampilan yang tumbuh berkembang di setiap negara berbeda-beda. Laporan The Future of Skills (2019) menunjukkan bahwa keterampilan yang tumbuh di Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan adalah kecerdasan buatan.

Sementara, blockchain tumbuh di Singapura dan Hong Kong, dan robotik berkembang di India. Adapun yang tumbuh di Indonesia dan Filipina adalah social media marketing.

Peta keterampilan setiap negara tersebut bisa menjadi cerminan kedalaman penguasaan teknologi 4.0 tersebut.


”Lembah kematian” dan tumbuhnya inovator

Selain keterkaitan lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja, perlu dilihat pula keterkaitan inovasi perguruan tinggi terhadap industri. Di dunia ini ditemukan istilah the valley of death atau lembah kematian.

Istilah ini menggambarkan kesenjangan intensitas perguruan tinggi pada riset dasar dan terapan dan intensitas DUDI dalam pengembangan produk.

Tentu agenda mengatasi ”lembah kematian” adalah penguatan jembatan komunikasi dan kolaborasi perguruan tinggi dan DUDI serta mendorong tumbuhnya banyak inovator yang bisa memahami DUDI.

Hal ini disebabkan selama ini DUDI menganggap inovasi perguruan tinggi tidak kompatibel dengan kebutuhan industri, dan perguruan tinggi menganggap DUDI tidak menghargai riset dan inovasi perguruan tinggi.


Sikap saling menyalahkan ini harus diakhiri

Bagaimanapun inovasi yang unggul tersebut sangat tergantung kualitas riset, dan kualitas riset tergantung pada sumber daya riset, yaitu peneliti dan anggaran. Menurut Bank Dunia (2020), jumlah peneliti per satu juta penduduk Indonesia hanya 216, bandingkan dengan China (1.307), Thailand (1.350), Malaysia (2.397), Jepang (5.331), Singapura (6.803), dan Korea Selatan (7.980).

Sementara itu, perbandingan dari sisi persentase anggaran riset per produk domestik bruto (PDB) sebagai berikut: Indonesia (0,3), Thailand (1,0), Malaysia (1,4), Singapura (1,9), China (3,1), Jepang (3,2), dan Korea Selatan (4,2).

Kalau kita bedah lagi, ternyata di negara lain sudah mulai ada pergeseran sumber dana riset dari pemerintah ke swasta. Persentase dana riset swasta beberapa negara sebagai berikut: Indonesia (12), Malaysia (38), Singapura (52), China (77), dan Korea Selatan (77), dan Thailand (81). Politik anggaran untuk riset perlu diperkuat agar makin banyak peneliti dan inovator yang produktif menghilirisasi inovasinya.


Kebutuhan teknopreneur baru

Peran lain perguruan tinggi bagi industrialisasi adalah menghasilkan lulusan berwirausaha mengingat, menurut pemerintah, rasio kewirausahaan di Indonesia masih relatif rendah, yaitu 3,74 persen. Bandingkan dengan Thailand (4,2), Malaysia (4,7), dan Singapura (8,7).

Namun, lebih dari itu, tipe wirausaha baru lulusan perguruan tinggi mestinya lebih menggambarkan sosok teknopreneur, yakni yang mampu mendayagunakan inovasi perguruan tinggi untuk menjadi industri baru. Jadi, kehadiran teknopreneur ini akan bermanfaat ganda: menjadi pengguna inovasi perguruan tinggi sekaligus menjadi sumber wirausaha baru.

Di IPB, hasil pemetaan bakat (talent mapping) menunjukkan mahasiswa baru yang ingin menjadi pengusaha sebanyak 43 persen, profesional 41 persen, birokrat 10 persen, dan peneliti 6 persen.

Ini sangat menggembirakan sehingga kami kembangkan Start Up School, Young Agripreneur Camp, dan lalu inkubator bisnis di Start Up Center IPB. Dalam kerangka makro, tumbuhnya teknopreneur baru ini bisa mengurangi ketimpangan ekonomi yang selama ini ada.


Agenda transformasi

Untuk menghasilkan lulusan unggul adaptif, inovator produktif, dan teknopreneur baru andal di atas, diperlukan transformasi ekosistem perguruan tinggi menyeluruh, baik kurikulum, agenda riset, maupun tata kelola.

Pertama, untuk transformasi kurikulum, targetnya adalah untuk menghasilkan lulusan dengan keterampilan baru yang mampu merespons perubahan dan kompatibel dengan kebutuhan industri. Cirinya terletak pada kekuatan keterampilan baru, pola pikir tumbuh, kreatif, orientasi future practice, jiwa kepemimpinan, dan fondasi integritas yang kuat.

Dunia industri sangat memerlukan lulusan dengan ciri tersebut, baik sebagai pekerja maupun teknopreneur.

Ciri-ciri dasar tersebut juga mestinya melekat pada sosok inovator yang produktif menghilirisasi inovasinya. Ini semua memerlukan ekosistem pendidikan yang kondusif yang melibatkan DUDI, baik dalam penyusunan kurikulum, program magang bersertifikat, microcredentials, teaching industry, dan pengembangan usaha rintisan baru.

Kedua, untuk transformasi riset dan inovasi di tingkat hulu perlu disiapkan payung riset bersama DUDI. Pada tingkat hilir perlu penguatan science techno park (STP) agar tercipta suasana industri di kampus.

Kemudian kolaborasi hilirisasi inovasi diintensifkan melalui skema licensing, spin off, ataupun joint venture. Program Matching Fund Kedaireka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi merupakan jembatan yang pas bagi kolaborasi ini. Tentu dengan ragam inovasi yang menghasilkan produk substitusi impor dan promosi ekspor akan sangat membantu bangkitnya industrialisasi di Indonesia.

Karena itu, berbagai terobosan ekosistem baru tata kelola perguruan tinggi yang menjamin kolaborasi saling menguntungkan antara perguruan tinggi dan DUDI harus dilakukan.

Jika transformasi ini tidak dilakukan, jangan-jangan tidak hanya the valley of death yang ada, tapi yang terjadi adalah the death of university sekaligus deindustrialisasi. Namun, apabila transformasi ini dilakukan secara menyeluruh, perguruan tinggi akan tetap tegak di tengah arus besar perubahan disruptif dan bahkan menjadi sumber inspirasi bagi perubahan baru mendatang.

Posting Komentar untuk "Opini Arif Satria: Perguruan Tinggi dan Industrialisasi Baru"