Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini Syamsul Arifin: Haji, Ekspresi Keragaman dalam Kesatuan

Haji, Ekspresi Keragaman dalam Kesatuan

Haji, Ekspresi Keragaman dalam Kesatuan

Syamsul Arifin
Guru Besar Sosiologi Agama dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang


Di antara peribadatan dalam Islam yang memiliki keunikan yang begitu kompleks adalah haji. Haji bukan semata-mata ibadah mahdah atau ibadah dalam arti sempit yang disebut pula dengan amaliyah ubudiyah. Dengan posisinya sebagai ibadah mahdhah, pada haji terdapat ketentuan normatif yang berlaku secara universal dan imperatif sebagaimana ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, seperti shalat dan puasa.

Orientasi utama ibadah mahdhah bersifat vertikal, transendental, dan ilahiah. Ibadah mahdhah merupakan manifestasi keyakinan terhadap ”keberwujudan” Tuhan, Allah, dan ketundukan kepada-Nya. Manifestasi tersebut terpantul secara kasat mata pada setiap gerakan dan bacaan dalam peribadatan. Pada ibadah mahdhah, berlaku pula ketentuan yang disebut syarat dan rukun yang berlaku universal sehingga memudahkan umat Islam dari berbagai paham berada di tempat yang sama untuk mengerjakan ibadah yang sama sebagaimana terlihat juga pada haji.

Pada tahun ini, umat Islam dalam jumlah mencapai jutaan datang secara bertahap ke Mekkah dan juga Madinah untuk melaksanakan ibadah haji yang puncaknya adalah wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijah. Arafah merupakan meeting point utama jutaan umat Islam dari berbagai negara, termasuk jemaah Indonesia yang berjumlah 200.000 lebih.

Jemaah haji merupakan cerminan umat Islam global. Selain ditandai dengan bertambahnya populasi baik karena faktor kelahiran, migrasi, dan konversi sebagaimana analisis Pew Research Center, umat Islam juga ditandai dengan keragaman dalam berbagai aspek. Salah satu faktor yang sering dikemukakan sebagai penyebab Islam mampu menjadi agama global dan pada gilirannya pemeluknya atau Muslim bisa menjadi warga dunia, seperti disinggung Olivier Roy dalam Globalised Islam: The Search for New Ummah, karena daya lenturnya ketika berinteraksi dengan budaya lainnya yang kemudian menciptakan suatu realitas sosial dan kultural apa yang disebut Bassam Tibi dengan akomodasi budaya (cultural accomodation).

Indonesia adalah contoh ideal sebagai tempat terjadinya persilangan budaya antara Islam dan budaya setempat bahkan berkembang pula fenomena cross cutting affiliation di mana dalam Islam sebagaimana tecermin pada pemeluknya terdapat persilangan dengan berbagai budaya. Karena itu, jika memperbincangkan Islam, selain perlu menyertakan aspek kesatuan (unity), penting pula diungkap aspek keragaman (diversity) di dalamnya. Kedua aspek yang bisa digambarkan melalui ungkapan ”dua sisi dalam satu koin”, itu betul-betul terwujud dalam haji.

Merujuk kepada konstruksi kesatuan dan keragaman (unity and diversity) Islam dari Abdullah Saeed, profesor studi Islam Unversity of Melbourne, kesatuan Islam terdapat pada core values (nilai-nilai inti) yang sekaligus merupakan wilayah di mana umat Islam bersepakat (area of unanimous agreement). Digambarkan berupa lingkaran oleh Abdullah Saeed, core values terdapat pada lingkaran paling dalam. Kemudian pada lingkaran kedua dan ketiga mulai terjadi perbedaan. Lingkaran kedua adalah interpretasi terhadap teks, sedangkan lingkaran ketiga atau terluar merupakan area terjadinya dialektika antara Islam dan budaya setempat.

Gambaran mendalam (thick description) secara antropologis ihwal perbedaan Islam akibat persentuhan dengan budaya lokal disajikan, antara lain oleh Clifford Geertz dalam Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia. Buku Islam in Australia, ditulis Abdullah Saeed, juga menggambarkan keragaman Islam di Australia yang disebabkan adanya dialektika antara Muslim pendatang dan budaya setempat.

”Pendek kata,” tegas Clifford Geertz dalam Islam Observed, ”menyatakan bahwa Maroko dan Indonesia kedua-duanya merupakan masyarakat Islam, dalam arti kata bahwa hampir semua orang di dalamnya mengaku beragama Islam, adalah sekaligus menunjukkan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara mereka.”

Kendati pekat dengan keragaman dan perbedaan, umat Islam menyatu padu dalam haji karena adanya kesatuan pada wilayah core values sebagaimana dikemukakan Abdullah Saeed dalam Islam in Australia. Abdullah Saeed mengelaborasi secara lebih luas dan mendalam nilai-nilai inti yang dimaksud dalam Interpreting the Qur’an: Toward a Contemporary Approach yang meliputi: nilai-nilai yang wajib (obligatory values), nilai-nilai fundamental (fundamental values), nilai-nilai perlindungan (protected values), nilai-nilai implementasi (implementational values), dan nilai-nilai instruktional (instructional values).

Pada hierarki nilai yang pertama, semua umat Islam bersepakat terkait kewajiban haji (obligatory values). Karena itu, terlepas dari perbedaan paham, mazhab, dan organisasi keagamaannya, umat Islam yang memiliki kemampuan finansial dan ketaatan beragama merasa terpanggil untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka juga—sekali lagi terlepas dari perbedaan di antara mereka—menunaikan ketentuan haji yang dikategorikan sebagai rukun yang meliputi: niat, ihram, wuquf, tawaf, dan sa’i, dan ditambah kegiatan yang termasuk dalam kategori wajib dalam haji seperti: mabit di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah, dan meninggalkan larangan-larangan haji.

Di luar ketentuan fiqhiyah haji yang harus diperhatikan dan dilaksanakan karena menentukan sahnya haji, di dalamnya juga terkandung nilai-nilai fundamental dengan jangkauan universal dan berimplikasi terhadap kemanusiaan. Di Padang Arafah, saat melaksanakan haji yang masyhur dengan sebutan haji wada’, Nabi berpidato. Ketika berpidato, menurut Nurcholish Madjid dalam Perjalanan Religius Haji & Umrah, Nabi terlihat emosional yang tampak pada permintaan Nabi agar pidatonya tidak saja benar-benar didengar dan dilaksanakan, tetapi juga disampaikan kepada yang tidak hadir.

Pidato di Arafah yang dikenal pula sebagai ”Pidato Perpisahan” (Khutbah Wada’) karena kira-kira setelah tiga bulan kemudian Nabi wafat, Nabi menegaskan pesan yang begitu mendasar yang menyangkut perhatian, penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Berikut nukilan sebagian pidato Nabi: ”Hai manusia! Sesungguhnya seluruh darah dan harta kalian adalah suci bagi kalian sampai kalian datang menghadap Tuhan kalian, seperti sucinya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini….”

”...Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Orang Arab tidak lebih mulia dari orang non-Arab, kecuali karena takwanya.”

”...bahwa setiap Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya, dan bahwa seluruh umat Muslim itu bersaudara. Tidak seorang pun dibenarkan mengambil sesuatu yang menjadi hak saudaranya, kecuali jika diberikan dengan kerelaan hati, dan janganlah kalian menzhalimi diri kalian sendiri.”

Karena haji adalah Arafah, al-hajju al-Arafah sebagaimana tegas suatu hadist, jutaan manusia akan berkumpul di Arafah untuk melaksanan wukuf. Maka dari sudut fiqh jika ritual di Arafah pada 9 Dzulhijjah tidak dilaksanakan, hajinya bukan saja tidak sempurna, tetapi malah tidak sah atau batal. Ketentuan dalam fiqh bahwa wukuf merupakan puncak dan sekaligus sebagai rukun haji, tidak bisa dilepaskan dari makna historis dan filosofis wukuf, yakni agar jamaah haji dan umat Islam yang tidak melaksanakan haji, mengingat pesan moral universal pidato Nabi dan merasakan kesatuan sebagai umat Islam dan manusia.

Pada akhirnya perlu disertakan kajian tentang “Menjadi Manusia Haji” seperti ditulis Ali Syariati. Penggunaan frasa ”Manusia Haji” mengandung makna bahwa yang terpenting sepulang dari haji, bukan gelar haji yang kemudian di depan namanya dicantumkan huruf H atau Hj yang karenanya lalu dipanggil ”Pak Haji” atau ”Bu Haji”, tetapi tertanamnya karakter kemanusiaan, dalam arti orang yang sudah haji mampu memahami, menghayati, dan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan.

Manusia haji adalah manusia yang menghargai manusia lainnya sekalipun berbeda bahkan dari segi agama dan keyakinan. Manusia haji adalah manusia yang tidak gampang mencari-cari kesalahan dan menjelek-jelekkan, apalagi bertindak diskriminatif terhadap orang lain hanya karena berbeda dalam beberapa aspek.

Jadi, haji pada akhirnya harus berdampak pada keagungan akhlak. Dan, ini pula yang disebut dengan haji mabrur.


Posting Komentar untuk "Opini Syamsul Arifin: Haji, Ekspresi Keragaman dalam Kesatuan"