Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini Bagong Suyanto: Deindustrialisasi, Hilirisasi, dan Kemiskinan

Bagong Suyanto

Deindustrialisasi, Hilirisasi, dan Kemiskinan

(Guru Besar dan Dosen Kemiskinan dan Kesenjangan di FISIP Universitas Airlangga)

Meski hilirisasi produk mineral Indonesia digugat World Trade Organization atau WTO, Presiden Jokowi menegaskan bahwa hilirisasi tetap terus dijalankan. Hilirisasi dinilai telah membuat Indonesia untung besar (Kompas, 9/8/2023).

Klaim pemerintah tentang manfaat hilirisasi ini bukan tanpa alasan. Hilirisasi nikel, misalnya, membuat Indonesia menerima kenaikan keuntungan menjadi 33,8 miliar dollar AS atau Rp 510 triliun dari sebelumnya 2,1 miliar dollar AS atau Rp 31 triliun. Dengan mengembangkan strategi hilirisasi, ekspor turunan nikel bisa ditingkatkan hingga 6,76 kali lipat lebih tinggi dibandingkan ketika masih mengekspor bijih nikel.

Di atas kertas, strategi hilirisasi memang menjadi jawaban untuk mengatasi indikasi terjadinya deindustrialisasi. Hanya masalahnya, ketika hilirisasi dan reindustrialisasi yang dikembangkan sifatnya cenderung padat modal dan berbasis teknologi tinggi, bukan tidak mungkin hal itu justru melahirkan dampak yang sebaliknya. Hilirisasi hasil tambang di wilayah Sulawesi dan Maluku meskipun berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ternyata di sisi yang lain menyebabkan persentase penduduk miskin di daerah tersebut justru naik ketika angka kemiskinan di daerah lain turun (Kompas, 21/7/2023).

Kontradiksi yang terjadi di daerah sentra penghasil dan pengolah nikel di atas tentu memprihatinkan. Namun, fenomena ini bukanlah hal yang baru. Di Indonesia, banyak studi membuktikan di berbagai daerah yang diinvasi industrialisasi umumnya mengalami kecepatan perubahan yang luar biasa dan mendasar dalam perekonomian, tetapi berbanding terbalik dengan perubahan kesejahteraan masyarakat lokal. Berbagai tekanan baru yang timbul akibat hadirnya industrialisasi sering kali mematikan kesempatan masyarakat lokal untuk memanfaatkan peluang baru yang muncul (Li, 2002).

Belajar dari pengalaman, yang namanya masyarakat lokal kini tidak lagi dipahami hanya sebagai kelompok masyarakat yang bodoh, yang mempertahankan cara hidup tradisional yang sangat berbeda dan terbelakang, serta secara geografis dan politik jauh dari pusat pemerintahan. Masyarakat lokal adalah bagian dari proses perubahan dan pembangunan, dan bahkan harus ditempatkan sebagai subyek perubahan dan pembangunan itu sendiri. Pembangunan dan industrialisasi yang menafikan eksistensi budaya dan pranata lokal, bukan saja akan melahirkan resistensi dan perlawanan sosial masyarakat setempat, tetapi ujung-ujungnya niscaya akan bersifat kontra-produktif.


Masyarakat lokal

Membayangkan masyarakat lokal dapat terserap dalam aktivitas dunia industri dan mampu beradaptasi dengan pranata sektor perekonomian firma harus diakui bukanlah hal yang mudah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat lokal cenderung tertinggal dan hanya menjadi penonton atas perubahan cepat yang terjadi di sekitarnya.

Ciri yang menandai kehidupan masyarakat lokal biasanya memperoleh mata pencariannya dari berbagai kegiatan, seperti perladangan (sistem bergilir), perkebunan, pengambilan hasil hutan, pertanian lahan kering atau tegal dan pekarangan (lahan yang kering permanen), atau sebagai pekerja upahan. Mereka adalah bagian dari kelompok marginal yang telah dipinggirkan dan ditradisionalkan oleh pusat, termasuk kekuatan industri yang muncul di bawah tema besar pembangunan.

Mereka dalam banyak hal dipandang sebagai kaum terbelakang dan tertindas yang budayanya telah dilecehkan dan alamnya telah dieksploitasi melalui proyek-proyek pembangunan oleh pusat. Mereka dari sudut pandang cara berproduksi adalah sangat bervariasi dan aksesnya terhadap pasar di masa kini makin besar dan kondisi ini tidak diperhatikan oleh para perancang pembangunan di pusat.

Meski pun secara geografis hidup di wilayah yang terisolasi dan tertinggal, masyarakat lokal di wilayah pedalaman sebetulnya tidak melulu tumbuh soliter dan senantiasa steril dari proses perubahan. Akibat industrialisasi dan kegiatan pembangunan, cepat atau lambat yang namanya penduduk lokal akan berubah. Tania Murray Li (2002) mencatat, selama tahun 1970-an dan 1980-an, bersamaan dengan terjadinya perubahan dan pembangunan di berbagai dataran rendah Indonesia, daerah pedalaman yang berbukit-bukit atau yang terletak di kawasan yang relatif terisolasi juga mengalami perubahan ekonomi, politik, dan sosial yang sama pentingnya.

Seperti halnya di dataran rendah, dewasa ini juga banyak terjadi pembangunan jalan raya, intensifikasi tanaman pangan, penanaman modal, penggundulan hutan, dan perpindahan manusia serta perubahan ide-ide secara besar-besaran yang skala dan kecepatannya belum pernah terjadi seperti berlangsung dalam kurun waktu belakangan ini. Seiring dengan perkembangan ini muncul pula perubahan-perubahan mendasar dalam perekonomian, pemerintahan dan moralitas yang berlangsung sejalan dengan tanggapan masyarakat pedesaan terhadap tekanan-tekanan baru dan sikap mereka untuk memanfaatkan peluang-peluang yang baru muncul.

Sepanjang kegiatan pembangunan yang berlangsung dan dikembangkan di berbagai daerah dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat lokal dan berbasis pada adat istiadat setempat, niscaya industrialisasi yang sedang berlangsung tidak akan menimbulkan alienasi, apalagi perlawanan sosial. Namun, sayangnya, tidak sedikit kajian telah membuktikan bahwa berbagai kegiatan industrialisasi yang terjadi dan merambah wilayah pedalaman umumnya lebih banyak berjalan menurut logika kapitalisme dan kepentingan pusat yang tersentralisasi daripada berpijak kepada kepentingan penduduk lokal.

Selama ini, bukan rahasia lagi bahwa yang namanya daerah penduduk desa dan lokal senantiasa dikaitkan secara negatif dengan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, kekacauan, dan pembangkangan dengan sikap keras kepala untuk hidup sebagai warga yang ”normal”. Dalam pandangan para perencana pembangunan, daerah pedalaman dan penduduk lokal dianggap terpinggir karena mereka tidak mampu berubah berkembang atau menjadi modern. Dove (2002), misalnya, mencatat kecenderungan umum yang terjadi bahwa kekuatan komersial sering kali memperlakukan suku di pedalaman sebagai suku yang primitif, terbelakang, dan aneh.

Di Indonesia, strategi yang dikembangkan negara untuk meningkatkan kontrol atas wilayah pedalaman dan sumber daya alam (SDA) yang ada di dalamnya, biasanya adalah melalui kebijakan swastanisasi SDA yang implementasinya adalah perkembangan industrialisasi ke berbagai wilayah. Kekayaan sumber daya lokal yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan penduduk setempat diserahkan pengelolaannya kepada kekuatan komersial yang sering kali menafikan kepentingan masyarakat.


Resistensi

Apakah kehadiran industrialisasi terbukti mampu memajukan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal? Di satu sisi mungkin benar bahwa kebijakan pembangunan dan kehadiran industrialisasi yang sifatnya top down—yang hanya berorientasi kepada produksi—sering terbukti malah mematikan potensi swakarsa masyarakat setempat, menimbulkan polarisasi sosial, dan bahkan mengalienasikan.

Ketika kekuatan komersial lebih mengandalkan kepada guyuran dana program corporate social responsibility (CSR ) untuk membungkam keresahan dan resistensi masyarakat lokal, yang terjadi adalah munculnya bara api dalam sekam. Kasus resistensi masyarakat lokal seperti yang terjadi di Papua, Aceh, dan berbagai daerah lain adalah bukti betapa rawan memperlakukan kebijakan pembangunan yang hanya mementingkan logika produksi. Dalam kegiatan pembangunan yang sentralisasi, masyarakat lokal niscaya kurang mendapatkan empati, dan bahkan acap kali disisihkan karena dianggap sebagai penganggu jalannya perubahan dan kepentingan ekonomi.

Pengalaman di berbagai daerah di mana perlawanan masyarakat lokal muncul karena tidak puas dengan industrialisasi seharusnya menjadi pelajaran berharga. Tidak sedikit industrialisasi berskala besar yang hadir di sebuah wilayah justru menjadi sangat mahal, tidak efisien, dan tidak menguntungkan. Bahkan, yang ironis, ketika kegiatan industrialisasi yang serba kontraktual dan komersial itu terbukti mengganggu kelangsungan dan mata pencaharian penduduk setempat, yang dilakukan bukannya melakukan introspeksi, melainkan justru dijalankan melalui mekanisme-mekanisme paksaan—yang ujung-ujungnya melahirkan resistensi dan perlawanan sosial warga setempat.

Di berbagai daerah yang resah karena dihela industrialisasi yang lebih mementingkan produksi, konsekuensi yang timbul adalah perlawanan. Di Maluku, misalnya, sejak pertengahan 1980-an masyarakat Naulu yang tinggal di pinggiran hutan hujan dataran rendah di Seram Tengah telah menjadi semakin aktif dalam melawan ancaman terhadap basis sumber daya tradisional mereka.

Sementara itu, di wilayah pedalaman Kalimantan, studi yang dilakukan Ruwiastuti dan kawan-kawan (1997) menemukan pola yang kurang-lebih sama. Ruwiastuti menemukan ketika industrialisasi mulai merambah pedalaman Kalimantan, maka yang namanya tanah adat—dan tanah milik orang Dayak sebagai penduduk lokal—sering kali dikorbankan untuk kepentingan yang bersifat ekstraktif atau kepentingan orang-orang yang datang dari luar daerah. Dengan demikian, kepentingan orang Dayak yang berhubungan dengan hutan dan tanah cenderung diabaikan baik oleh pemerintah daerah maupun pusat.


Kemiskinan dan kesenjangan

Kegiatan industrialisasi dan gelombang modernisasi yang direkayasa dari ”pusat” tidak hanya mendorong peningkatan produktivitas, tetapi sesungguhnya juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial secara dramatis dan massif di berbagai komunitas. Proses perubahan masyarakat yang semata karena dihela industrialisasi bukan hanya menyebabkan terjadinya kesenjangan dan polarisasi sosial, tetapi juga menyebabkan masyarakat lokal seolah teralienasi dari proses perubahan sosial-budaya yang dialami dan terjadi di wilayahnya.

Diakui atau tidak, selama ini, yang namanya kepentingan pemilik modal umumnya lebih banyak berorientasi kepada negara—melayani penguasa melalui pola hubungan bisnis yang mengandalkan patronase—dan sebaliknya acap kali mengabaikan kepentingan masyarakat lokal, dan bahkan ditengarai justru malah merampasi hak-hak adat masyarakat lokal.

Proses perubahan dan industrialisasi yang menafikan keberadaan komunitas lokal, dan cenderung lebih banyak terekspresi sebagai proses transplantasi daripada sebagai proses transformasi, niscaya hanya akan melahirkan ketegangan sosial, bersifat a-historis, dan merugikan warga masyarakat lokal. Secara teoritis, kegiatan industrialisasi yang lahir dan serba dikendalikan oleh kekuatan komersial niscaya bukan hanya menelikung pranata-pranata komunitas desa yang tradisional, tetapi dalam banyak kasus juga makin menambah beban kemelaratan golongan miskin desa dan mengakibatkan merebaknya polarisasi sosial di kalangan masyarakat desa dan wilayah pedalaman.

Sejak empat-lima dekade silam—bersamaan dengan mulai merebaknya proses modernisasi dan industrialisasi—, ternyata di Indonesia justru jumlah pengangguran, setengah pengangguran, dan kemiskinan baik di kota maupun di desa tidak berkurang secara berarti, sekalipun telah tercapai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Ada kesan kuat bahwa hasil-hasil pembangunan selama ini lebih banyak dinikmati oleh lapisan tertentu saja sehingga menimbulkan kesenjangan.

Bahkan, kesenjangan yang terjadi bukan hanya antara kaya dan miskin dalam masyarakat, tetapi juga antara daerah perkotaan dan pedesaan. Seperti sudah dikaji para ahli, kesenjangan antarkelompok pendapatan antara daerah perkotaan dan pedesaan telah memburuk sejak dibukanya perekonomian pedesaan ke arah ekonomi pasar. Hanya mereka yang memiliki akses terhadap modal, kredit, informasi, dan kekuasaan yang dapat mengambil manfaat dari program-program pembangunan.

Dalam proses perkembangan industrialisasi, penduduk pedalaman umumnya cenderung menjadi korban persekutuan antara modal dan kekuasaan politik. Studi yang dilakukan penulis di berbagai daerah menemukan adanya indikasi bahwa investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan SDA (hutan, tambang dan laut) demi akumulasi modal, bukan saja telah melahirkan proses perubahan sosial-budaya dan kesenjangan sosial, tetapi juga menyebabkan munculnya keresahan, dan bahkan resistensi sosial di kalangan penduduk lokal yang teralienasi dari proses pembangunan yang sedang berlangsung di wilayahnya.

Di sejumlah wilayah bukan rahasia lagi bahwa degradasi SDA setempat umumnya selalu diiringi dengan peningkatan konsumerisme yang digerakkan oleh pesona mode di sektor konsumtif. Lalu, ujung-ujungnya bermuara pada terjadinya krisis identitas dan meluasnya kemiskinan serta kesenjangan yang makin tajam.

Posting Komentar untuk "Opini Bagong Suyanto: Deindustrialisasi, Hilirisasi, dan Kemiskinan "