Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini Nurcholish Madjid: Yerusalem

Opini Nurcholish Madjid: Yerusalem

Yerusalem

Nurcholish Madjid
Mantan rektor Universitas Paramadina. Ia salah satu budayawan dan pemikir Muslim paling berpengaruh di Indonesia.


Yerusalem (al-Quds) adalah kota yang sangat tua. Dan sekarang telah menjadi kota suci tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam, dan disebut al-Haram al-Syarif (Tempat Suci yang Mulia), khususnya pada dataran di atas bukit Moriah dalam kawasan kota lama yang dikelilingi tembok besar dan tinggi. Perjalanan panjang kota ini pun penuh dengan konflik. Tempat yang mulanya merupakan rumah suci agama Yahudi yang disebut Bait Allah (juga The Solomon Temple [Haykal Sulayman]) pun sudah dua kali mengalami penghancuran, pertama oleh Raja Nebuchadnezzar dari Babilonia (587 SM), dan kedua oleh Kaisar Titus dari Romawi (70 M).

Dan mengenai kedua peristiwa tersebut terekam dalam Al-Qur'an surah Al-Isra' (17): 4-8. Sejak itu bangsa Yahudi tidak mempunyai rumah sucinya, tinggal Tembok Ratap (Wailing Wall) saja untuk mengenang nasib yang kemudian menjadi tempat ziarah dan ibadah, dan kini merupakan tempat yang paling suci bagi orang yang beragama Yahudi. Sampai saat ini sebagai rumah suci agama Yahudi, bekas Haykal Sulayman itu tidak pernah dibangun lagi.

Dan Orang Yahudi pun kehilangan Bait Allahnya, sehingga nantinya pusat agama Yahudi pun bergeser dari Bait Allah itu ke sinagog-sinagog yang menyebar ke seluruh muka bumi. Ketika Kaisar Titus menghancurkan rumah suci itu, mereka pun dilarang tinggal di Kanaan (Palestina Selatan) dan Yerusalem, sehingga orang Yahudi menjadi mulai hidup dalam diaspora, terlunta-lunta tanpa tanah air dan menyebar ke seluruh dunia (Alquran lagi-lagi merekam peristiwa ini dalam surah Ali `Imran [3]: 112), sampai mereka mengumpulkan kembali kekuatan dan mencoba melawan Romawi pada 132 M, tetapi peristiwa ini malah menjadikan kaum Yahudi ditindas secara lebih kejam lagi oleh Kaisar pada waktu itu, Hadrian melalui Jendral Severus, sehingga darah orang-orang Yahudi sampai mengalir seperti sungai dan harga budak di pasaran merosot karena banjir lelaki dan perempuan Yahudi yang diperbudak dan diperjualbelikan.

Kekaisaran Romawi selanjutnya pada 135 M menginginkan melenyapkan bangsa dan agama Yahudi dengan membangun sebuah kota kecil di pusat Yerusalem, yang disebut Aelia Capitolina yang berarti kota kecil untuk Dewi Aelia, berhala bangsa Roma. Di Bukit Moriah tempat bekas Haykal Sulayman itu pun dibangun pula patung yang menghadap dewi berhala itu, patung yang didedikasikan kepada Dewa Jupiter. Kemudian di Golgota didirikan pula kuil untuk berhala Venus sebagai penghalang perkembangan agama Kristen, yang pada waktu itu mulai tumbuh.

Keadaan ini terus berlangsung hingga akhir abad ketiga Masehi. Pada abad keempat Kaisar Konstantine masuk agama Kristen, dan menjadikan agama Kristen sebagai agama kekaisaran Romawi pada 313 M. Yerusalem pun kini dikuasai oleh agama Kristen, dan ditandai dengan berdirinya banyak gereja, di antaranya yang terkenal Gereja The Holy Sepulcher (Keluarga Suci) yang disebut oleh orang Arab sebagai Kanisat-u 'l-Qiyamah ("Gereja Kebangkitan" [Isa al-Masih menurut kepercayaan Kristen, setelah mati dan dikubur tiga hari lalu bangkit naik ke langit]), setelah sebelumnya dihancurkan terlebih dahulu bangunan-bangunan yang didirikan Kaisar Hadrian (pada 326).

Gereja ini dibangun oleh Ratu Helena, ibunda Kaisar, dan menjadi tempat paling suci bagi agama Kristen di Yerusalem. Dan setelah itu Gereja ini pun beberapa kali mengalami penghancuran dan pembangunan kembali sejalan dengan penguasa-penguasa Yerusalem. Ada cerita yang menarik mengenai Gereja Sepulchre ini, yaitu ketika Khalifah `Umar ibn Khaththab datang ke Yerusalem untuk menandatangani Dokumen Aelia (Mitsaq Ailiya) yang dicatat oleh Ibn Khaldun: "`Umar ibn al-Khaththab masuk Bayt-u 'l-Maqdis dan sampai ke Gereja Qumaman (Qiyamah) lalu berhenti di plazanya. Waktu sembahyang pun datang, maka ia katakan kepada Patriakh, 'Aku hendak sembahyang'.

Jawab Patriakh, 'Sembahyanglah di tempat Anda' Umar menolak kemudian sembahyang pada anak tangga yang ada pada gerbang gereja itu sendirian. Setelah selesai dengan sembahyangnya, ia berkata kepada Patriakh, 'Kalau seandainya aku sembahyang di dalam gereja, maka tentu kaum Muslim kelak sesudahku akan mengambilnya dan berkata, 'Di sini dahulu `Umar sembahyang!'. Dan (selanjutnya) `Umar menulis (perjanjian) untuk mereka bahwa pada tanggal itu tidak boleh ada jamaah sembahyang [di tempat itu] dan tidak pula akan dikumandangkan adzan padanya.

Kemudian `Umar berkata kepada Patriakh: 'Sekarang tunjukkan aku tempat yang di situ aku dapat mendirikan sebuah masjid,' Patriakh berkata, 'Di atas Karang Suci (Shakhrah) yang di situ dahulu Allah pernah berbicara kepada Nabi Ya`qub.' Umar mendapati di atas karang itu banyak darah (di samping sampah dan kotoran), maka ia pun mulailah membersihkannya dan mengambil darah itu dengan tangannya sendiri dan mengangkatnya dengan bajunya sendiri.

Semua kaum Muslim mengikuti jejaknya, sampai sampah itu bersih, dan ketika itu juga kemudian ia perintahkan untuk didirikan masjid di situ." Pada saat Umar itu pusat kota suci dibagi-bagi menjadi satu sektor Yahudi, dua sektor Kristen (Armenia dan Ortodoks karena mereka tidak bisa disatukan), dan (tanpa disebut sektor) satu areal yang lebih luas untuk Islam.

Kelak di tempat Islam tersebut didirikanlah dua bangunan dalam komplek yang disebut Masjid Aqsha: yaitu oleh Khalifah `Abd al-Malik ibn Marwan Qubbat al-Shakhrah atau The Dome of The Rock (pada 72 H/691 M) yang pernah menjadi kiblat pertama Islam, dan tempat Nabi Muhammad menjejakkan kaki beliau menuju Sidrat-u 'l-Muntaha dalam peristiwa mi`raj; dan sebuah masjid yang didirikan oleh Khalifah al-Walid ibn `Abd al-Malik. Mengikuti tafsir konvensional, yaitu yang sekarang ini dianut oleh sebagian besar umat Islam, memang ada indikasi bahwa sesungguhnya yang membuat Masjid Aqsha begitu penting adalah `Abd al-Malik ibn Marwan, walaupun ini sampai sekarang masih menjadi polemik. Ibn Taymiyah, misalnya, tidak menyukai pendapat itu. Jelas Masjid Aqsha itu amat penting, karena dia merupakan kiblat yang pertama.

Pada waktu masih di Makkah, Nabi bersembahyang menghadap Yerusalem. Tetapi karena tampaknya pada saat yang bersamaan juga ingin menghadap Ka`bah, maka beliau pilih arah selatan Ka`bah sehingga dengan demikian menghadap Ka`bah dan Yerusalem sekaligus. Namun, ketika beliau pindah ke Madinah hal itu tidak bisa dilakukannya lagi, maka terpaksalah beliau menghadap ke utara (ke Yerusalem) di mana Ka`bah berada di belakangnya. Posisi membelakangi Ka`bah ini membuat Nabi tidak merasa tentram. Maka beliau memohon kepada Allah supaya diizinkan pindah kiblat. Dan doa Nabi dikabulkan. Maka pindahnya kiblat ke Makkah itu disebabkan doa Nabi.

Kalau saja Nabi tidak berdoa, umat Islam sampai sekarang ini tetap menghadap Yerusalem. "Kami melihat mukamu menengadah ke langit; maka akan Kami arahkan engkau ke Kiblat yang kau sukai; arahkanlah wajahmu ke Masjidil Haram, dan dimana pun kamu berada arahkanlah wajahmu ke sana." (Q. s. Al-Baqarah [2]:144). Demikianlah Yerusalem, dengan sejarahnya yang penuh konflik telah menjadi tempat suci dari tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam.

Yerusalem pun menjadi lambang pertemuan dari tiga agama monoteis yang berakar pada Agama Ibrahim. Walaupun akhirnya ketiga agama ini mempunyai persamaan dan perbedaan secara teologis, perbedaan dan persamaan itu tidaklah menghalangi kita bersama untuk menjalin kerukunan hidup beragama untuk mencapai pertemuan bersama, yang al-Qur'an menyebutnya dengan Kalimat-un Sawa' (Q., s. Ali `Imran [3]: 64) sebagai sama-sama agama tawhid dalam tradisi Ibrahim. 

Disadur dari Harian Republika edisi 6 Februari 2001. Nurcholish Madjid (1938-2005) adalah mantan rektor Universitas Paramadina. Ia salah satu budayawan dan pemikir Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Posting Komentar untuk "Opini Nurcholish Madjid: Yerusalem"